Minggu, 26 Juni 2011

Perlukah Umat Buddha Menikah?


Add caption

Dalam kesempatan ini kita akan membahas tentang pernikahan. Pembahasan ini perlu dilakukan karena banyak pendengar kita yang belum menikah. Sedangkan untuk sebagian yang sudah menikah, setelah mendengar uraian malam hari ini, pernikahan anda mungkin perlu ditinjau lagi, apakah perkawinan perlu dilanjutkan atau berhenti sampai di sini saja.


Kenapa demikian? Karena kadang-kadang umat Buddha mempunyai pandangan yang keliru tentang pernikahan. Dalam banyak kesempatan sering dijumpai orangtua yang melarang anaknya sering pergi ke vihara. Apakah alasannya? “Jangan sering-sering ke vihara, kelak tidak kawin”. Kenapa tidak kawin? “Para bhikkhu yang tinggal di vihara tidak kawin, karena itu, jika kamu senang ke vihara lama-kelamaan akan dipengaruhi supaya tidak kawin”. Itu kalau ke Vihara.
Kadang-kadang masalah ketakutan anak tidak kawin ini sampai di rumah juga. Mungkin sebagian diantara anda ada yang menjadi umat Buddha dengan cukup pengertian Dhamma. Biasanya umat Buddha demikian ini akan mempunyai cetiya di rumah. Ia juga akan sering membaca paritta di cetiyanya itu. Melihat hal tersebut, orang tua mungkin akan mengatakan, “jangan sering-sering sembahyang di rumah nanti tidak kawin”. Jadi, banyak orang beranggapan bahwa setiap kali seseorang dekat dengan Agama Buddha maka ia kemudian tidak kawin.
Kita juga sering melihat beberapa pengertian keliru tentang Dhamma. Kadang ada umat Buddha yang berkata begini, “Sudahlah… Agama Buddha isinya tidak melekat. Artinya kawin pun tidak usah dilakukan.” Sebenarnya tidak demikian. Kalau dalam Agama Buddha diajarkan untuk tidak kawin maka nanti Agama Buddha akan punah. Kenapa? Semua yang datang ke sini kemudian tidak kawin, kapan generasi kecil-kecil itu muncul? Apa kita ambil dari tetangga untuk diajak ke sini? Biar menjadi umat Buddha yang tidak kawin lagi? Ambil lagi dari tetangga, bawa ke sini untuk tidak kawin lagi. Kalau caranya begini gaun pengantin tidak laku untuk umat Buddha. Padahal sebetulnya itu adalah pandangan salah. Senang sembahyang nanti tidak kawin, senang ke vihara kemudian tidak kawin, jadi umat Buddha nanti tidak kawin. Itu sebetulnya pandangan keliru. Tidak melekat yang berarti tidak kawin juga keliru.
Di dalam salah satu uraian Dhamma yang pernah disampaikan, sebenarnya disebutkan bahwa Sang Buddha menghargai kehidupan seorang pertapa atau seorang bhikkhu. Kenapa demikian? Karena seorang bhikkhu dianggap orang yang mempunyai keteguhan, kekuatan dan kesetiaan pada tekad untuk menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Buddha juga menghargai kehidupan suami istri yang mempunyai kesetiaan dengan pasangan hidupnya. Jadi kalau kita melihat dalam Dhamma kesetiaan dinilai sangat tinggi. Bahwa Agama Buddha atau khususnya Sang Buddha menghargai para pertapa karena setia dengan janjinya untuk mengikis ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Demikian pula Sang Buddha menghargai para perumah tangga yang setia dengan janjinya untuk setia dengan pasangan hidupnya. Para perumah tangga yang tidak setia tidak dihargai. Apa itu misalnya? Sudah kawin cari pasangan hidup yang lain, kenapa? Karena memang rumput di tetangga selalu tampak lebih indah. Pasangan hidup sendiri tampak indah apabila belum didapat. Anda yang sudah mempunyai pasangan hidup, pasangan hidup sebetulnya tampak indah pada waktu belum anda dapatkan. Begitu didapat, hanya seperti itu saja. Namun tetangga yang belum anda dapatkan itu lebih indah daripada pasangan hidup anda. Nanti setelah mendapatkannya, hanya seperti itu lagi. Tetangga yang lain itu lebih indah dari dua yang sudah anda dapatkan. Tetapi begitu anda dapatkan mereka, hanya seperti itu saja. Karena itu ditambah empat lagi juga sama saja. Lima juga sama saja, sembilan malah dapat award, dapat penghargaan. Sudah ada orang yang mempunyai pasangan hidup sampai sembilan orang dan mendapatkan penghargaan. Award yang bagaimana? Award untuk orang yang hanya senang mengejar proses tapi tidak menikmati hasilnya. Manusia cenderung menyenangi proses untuk mencapai atau mencari sesuatu. Hal ini bukan hanya terjadi ketika seseorang mencari pasangan hidup saja. Anda berumah tangga atau bekerja, kondisi itu sama juga. Kesenangan timbul ketika hendak mencari pekerjaan. Melamar kesana, melamar kesini, sudah dapat kerjaan, senang, happy. Setelah bekerja selama 3 bulan, 6 bulan, atau ketika sudah hilang tantangan dalam pekerjaan, maka hilang pula kesenangan yang dimiliki pada awal masa kerja. Kenapa hanya seperti itu saja? Membosankan. Pindah tempat kerja, tantangan di sana hebat tapi sudah bosan. Hanya seperti itu saja. Oleh karena itu, Sang Buddha menyampaikan Dhamma bahwa sebenarnya kesetiaan adalah nomor satu. Makanya dengan pasangan hidup juga perlu setia. “Bagaimana Bhante, pasangan hidup yang terlanjur saya pilih agak jelek? Ini kurang memenuhi persyaratan.” “Ya sudah, terimalah kammamu. Salahnya sendiri, memilih dengan terburu-buru, semestinya perluas wawasan terlebih dahulu. Pilih sana, pilih sini. Dari 20 nominasi dipilih sampai semifinal tinggal 5 orang. Pada tingkat final tinggal 3 orang. Diadu lagi tinggal dua orang dan akhirnya diperoleh satu orang yang terakhir. Dengan demikian, pasti akan diperoleh pasangan hidup yang lumayan baik. Sebaliknya, hanya mendapatkan satu orang dan itupun dilakukan secara kilat, maka sebenarnya hal terpenting sebagai modal hidup berpasangan adalah tetap setia dengannya. Apapun yang anda peroleh harusnya anda tetap setia. Jeleknya seperti apapun juga hendaknya bisa diterima. Bahkan, karena kejelekannya itulah maka ia mau menjadi pasangan hidup anda. Coba kalau mereka lebih baik, mungkin mereka malahan tidak mau dengan anda. Jadi terimalah kenyataan itu. Untung dia masih mau dengan saya. Kalau yang lain, mungkin malahan tidak mau. Ya sudahlah. Diterima saja.
Tapi hal itu adalah tahap pertama bahwa perkawinan dihargai Sang Buddha karena saling setia. Perkawinan yang tidak memiliki kesetiaan tidak ada harganya. Selanjutnya, yang kedua disebutkan dalam Sigalovada Sutta berbagai kewajiban suami terhadap istri, demikian pula kewajiban istri terhadap suami. Ada banyak kewajiban yang berbeda yang harus dilaksanakan oleh suami istri, namun ada hal yang sama untuk keduanya yaitu harus saling setia. Suami tentu punya kewajiban yang berbeda dengan istri, karena masing-masing mempunyai tugas kemasyarakatan yang berbeda. Namun hal yang sama untuk keduanya adalah kewajiban untuk saling setia. Jadi, sekali lagi ditekankan di sini bahwa Dhamma sangatlah menghargai kesetiaan. Oleh karena itu, kiranya sudah jelas bahwa dalam Agama Buddha tidak pernah tentangan ataupun penolakan terhadap perkawinan. Sang Buddha tidak pernah melarang umat Buddha untuk menikah. Di dalam kitab suci juga tidak ada larangan untuk menikah. Karena itu apabila anda yang ingin berumah tangga, anda dapat melaksanakannya sekarang juga.
Apakah sebenarnya perkawinan itu? Dalam Dhamma, perkawinan bukanlah keharusan ataupun kewajiban. Apabila perkawinan merupakan keharusan, maka dalam Agama Buddha tidak akan memiliki lembaga kebhikkhuan. Kenapa demikian? Karena perkawinan bukan keharusan. Dahulu ada orang yang mengatakan bahwa menjadi seorang bhikkhu itu adalah keliru. Kawin adalah keharusan, kenapa bhikkhu tidak kawin? Saya katakan, “Justru dengan saya tidak kawin, saya bisa berkelana ke mana-mana, ceramah di sana, ceramah di sini. Apalagi dalam rangka sebulan dalam Dhamma seperti saat ini, orderan full. Tiap hari ceramah sana, ceramah sini, kalau punya pasangan hidup apakah ia tidak ngomel melihat hal ini? Kalau punya anak apakah mereka tidak ngomel nantinya? Dengan menjadi bhikkhu yang tidak kawin, justru seseorang dapat mengabdikan seluruh waktunya untuk kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri maupun masyarakat. Hal itu dapat terwujud karena Agama Buddha tidak mempunyai keharusan untuk kawin.” Jadi, Agama Buddha tidak mengharuskan seseorang untuk kawin karena Agama Buddha bebas dari berbagai macam keharusan. Perkawinan di dalam Dhamma adalah pilihan, artinya untuk mereka yang berminat kawin silahkan dilakukan, namun cukup sekali saja karena harus setia dengan pasangan hidupnya. Tetapi, jika kalau anda tidak berminat kawin maka tidak kawin pun anda tidak salah. Seorang bhikkhu tidak kawin dan pilihan itu tidak salah, bebas. Anda berumah tangga, yang sudah punya anak, istri, yang mungkin anaknya diajak ke sini, yang mungkin pasangan hidupnya diajak ke sini, anda juga tidak salah, bebas. Oleh karena itu, masalah yang perlu direnungkan sekarang adalah : perlukah kita menikah?
Jadi pernikahan adalah pilihan, boleh menikah, boleh tidak menikah. Sekarang pertanyaannya, ” Perlukah kita menikah?” Kalau ada pertanyaan “perlu” atau “tidak perlu” seperti itu, bagaimanakah menjawabnya? Perlukah anda punya rumah? Perlukah anda punya duit? Perlukah anda ke salon? Perlukah anda mandi? Perlukah anda minum obat? Pertanyaan “perlukah” ini berhubungan dengan kebutuhan. Kata “keperluan” ini sebetulnya berhubungan dengan tujuan kita; perlu tidak minum obat, jawabannya tergantung pada tujuan. Tujuan anda mau sakit atau tidak? Saya mau sakit agak lama supaya bisa istirahat di rumah. Kalau begitu, tidak usah minum obat. Perlu tidak minum obat? Tujuan saya biar cepat sehat, kalau begitu, perlu minum obat. Jadi kata “perlu” berhubungan dengan tujuan. Sekarang “Perlukah anda menikah?” Tergantung tujuan hidup anda. Apakah yang anda inginkan dalam hidup ini? Saya ingin punya anak, kalau begitu menikahlah. Kenapa? Karena mungkin konsep anda pernikahan adalah peternakan. Pernikahan harus punya anak. Jadi kalau pernikahan tidak menghasilkan anak, “Kamu sudah lama menikah dengan saya tetapi belum mempunyai anak” Lalu ganti pasangan hidup. Memangnya ayam? Hal seperti ini bukanlah tujuan perkawinan dalam Agama Buddha. Melahirkan anak hanyalah konsekuensi logis suatu perkawinan namun bukan keharusan. Melahirkan anak bagus, namun tidak memiliki anak juga tidak masalah. Jalani saja.
Apakah tujuan perkawinan? Apakah perlu atau tidak perlu kawin? Tujuan saya kawin agar kalau saya pergi ke mana-mana ada temannya, kalau demikian, kawin saja dengan satpam, supaya ke mana-mana ada yang menemani, ada yang menjaga, ada yang mengawal. Tujuan saya kawin salah satunya adalah biar ada yang merawat daripada hidup sendiri tidak terawat, kalau begitu kawinlah dengan babysitter, biar ada yang menyuapi, kalau lelah ada yang memijat. Kadang-kadang orang melihat keperluan kawin dengan sangat sederhana dan sepele. Padahal dalam Dhamma perlu atau tidak perlu berumah tangga mempunyai suatu tujuan yang luhur.
Apakah tujuan perkawinan yang sesungguhnya? Tujuan perkawinan adalah untuk mencari teman hidup. Kalau anda ingin mendapatkan teman selama 24 jam seumur hidup, maka menikahlah. Hasil mempunyai teman hidup selama itu muncullah anak-anak sebagai konsekuensi logis. Apabila kemudian timbul pernyataan seperti, “Saya lebih baik tidak kawin saja daripada mempunyai anak banyak”. Berarti anda tidak memahami tujuan perkawinan. Anda bertujuan mencari teman hidup namun ketika mendapatkan efek sampingnya sebagai konsekuensi logis suatu perkawinan yaitu mempunyai anak, anda menolak kenyataan itu. Padahal perkawinan adalah merupakan keseluruhan, bukan hanya “saya menerima kamu ketika kamu cantik dan masih ganteng, kamu boleh menjadi teman hidupku. Tetapi ketika kamu sudah jelek, ompong, keriput, saya kembalikan ke orang tua kamu”. Tidak boleh seperti itu karena kita mencari teman hidup bukan hanya untuk jangka pendek melainkan untuk masa sekarang maupun nanti.
Karena itu, tanyalah sekarang kepada diri sendiri :”Apakah saya memerlukan teman hidup?” Kalau anda memerlukan teman hidup, perlukah teman hidup anda itu diperoleh melalui perkawinan? Atau teman hidup itu dapat anda peroleh tanpa melalui perkawinan karena anda bisa bersahabat dengan teman sejenis maupun dengan lawan jenis. Tidak masalah. Kenapa? Apakah pengertian sahabat atau teman hidup? Dalam kehidupan ini, anda pasti mempunyai masalah. Kemana anda memberikan curahan hati atau istilah bekennya “curhat”? Kepada siapa anda curhat? Ketika anda punya pasangan hidup ke mana anda curhat? Apakah anda curhat dengan pasangan hidup anda? Suami anda atau istri anda? Atau anda curhat kepada orang lain? Dari sinilah anda akan dapat mengetahui status pasangan hidup anda. Apakah ia hanya sekedar teman satu rumah yang sudah diketahui dan disahkan oleh Negara serta masyarakat namun batinnya bukanlah teman. Anda kumpul, bekerja, berjalan, makan, tidur bersama dengannya namun secara batin anda tidak selaras dengannya. Maka, ketika anda mempunyai masalah, anda akan menceritakannya kepada orang lain. Anda berkonsultasi dengan orang lain, bukan dengan pasangan hidup anda. Maka pasangan hidup anda bukanlah teman hidup anda. Dia hanya sekedar pasangan hidup. Tetapi kalau pasangan hidup anda sekaligus juga teman curhat anda maka ketika jengkel anda bisa berbagi kepada dia. Ketika senang anda juga berbagi dengannya. Dia adalah pasangan hidup anda juga menjadi teman hidup anda. Inilah perkawinan yang berbahagia serta berumur panjang.
Untuk mereka yang sudah menikah, renungkanlah hal ini, “Apakah jika saya sedang bermasalah akan menceritakannya kepada pasangan hidup saya?” Kalau jawabannya ‘selalu cerita dengannya’, maka perkawinan anda akan berumur panjang. Namun, sebagai salah satu syarat penting untuk mendengarkan cerita jujur tersebut anda harus dapat bersikap dewasa, jangan mudah marah ataupun tersinggung mendengarnya. Sebaiknya ketika mendengarkan pasangan hidup sedang curhat, usahakan untuk memberikan masukan yang positif. Berikanlah masukkan yang baik agar masalahnya dapat diatasi. Perkawinan seperti ini akan berumur panjang.
Namun apabila anda mempunyai masalah rumah tangga dan anda curhat kepada orang lain dan kebetulan dia merupakan lawan jenis maka keadaan itu berpotensi menimbulkan bahaya rumah tangga. Bisa muncul pikiran bengkok kepadanya. Pikiran yang bengkok pada awalnya tidak masalah. Namun lama kelamaan ketika hidup bersama dengan pasangan hidup akan selalu terpikir kepadanya. Semakin lama, ada kemungkinan terjadi perselingkuhan. Kadang dengan teman sejenis saja sudah berbahaya apalagi dengan lawan jenis. Oleh karena itu, harus anda perhatikan sekarang, anda curhat kepada siapa? Itu bagi yang sudah punya pasangan hidup.
Sekarang untuk anda yang belum mempunyai pasangan hidup, pertanyaannya sama. Jika anda mempunyai masalah, kepada siapa anda curhat? Anda mempunyai teman? Kalau memang anda mampu mengungkapkan semua perasaan itu kepada teman anda dan anda merasa tenang dengan cara seperti itu, sebenarnya, tidak kawin pun tidak masalah. Perkawinan hanyalah pilihan. Tetapi ketika anda merasa ingin curhat terus kepadanya, pagi, siang, malam, maka ketika anda ingin menikah dengan teman anda itu, silahkan. Dengan demikian, hanya diri kita sendirilah yang mengetahui secara persis “Perlukah kita menikah?”
Sama halnya ketika anda datang ke sini. Kadang anda harus menghitung dahulu berapa uang saku yang perlu dibawa. Tidak ada yang sama, tidak ada keharusan, itu adalah pilihan anda. Kenapa? Karena hanya anda yang mengetahui kebutuhan anda sendiri. Mungkin setelah dari sini anda ingin pergi ke toko, kalau demikian, anda harus membawa uang lebih banyak daripada biasanya. Mungkin setelah ini anda ingin makan, maka kebutuhan uang yang harus anda sediakan tidaklah sebanyak jika anda ingin ke toko atau membeli barang mahal lainnya. Mungkin selesai acara ini anda ingin langsung pulang ke rumah, maka anda tidak membutuhkan uang banyak. Semua keperluan uang anda, jumlah uang anda sangat tergantung pada kebutuhan anda. Demikian pula dengan perkawinan. Ketika anda mencari teman hidup, apakah anda harus melanjutkan hubungan tersebut dalam ikatan perkawinan? Apakah anda cukup berteman saja dengan dia dan dia tetap bisa berpasangan dengan orang lain? Kalau memang demikian halnya, biarkanlah dia berpasangan dengan yang lain. Ketika dia hendak mendapat pacar, anda akan mendorongnya agar ia segera mendapatkan pacar yang terbaik untuknya. Sebaliknya ketika anda sendiri akan mendapatkan pacar, teman hidup anda itupun akan mendorong anda untuk segera mendapatkan pacar yang paling sesuai. Kondisi seperti ini adalah kondisi teman hidup yang baik. Namun kadang teman curhat anda, bagi yang sudah berpasangan atau belum, pada saat makin dekat dengannya anda akan merasa jengkel ketika dia berdekatan dengan lawan jenis lain. Rasa tidak suka itu muncul karena sebenarnya dalam batin anda sudah ada rasa kepemilikan terhadap dirinya.
Kalau anda sudah mempunyai pasangan hidup, maka berarti dalam pikiran anda sudah terjadi penyimpangan. Kenapa? Karena anda hanyalah berteman dengannya. Dia sekarang mau berpasangan, anda juga sudah berpasangan, hal itu hendaknya bisa diterima sebagai kenyataan. Anda justru harus mendorongnya. Itu adalah sikap teman yang baik. Namun kalau anda kemudian berkata :”Jangan pacaran dengan dia. Tidak baik, lebih baik dengan saya saja”. Inilah tanda otak bengkok. Ini sudah berselingkuh. Sudah punya pasangan sendiri, masih menginginkan mendapat pasangan yang lain. Ini tidak setia. Ini bukan perilaku berdasarkan Dhamma karena dasar Dhamma adalah setia. Anda boleh mempunyai pasangan hidup, teman banyak, tidak masalah, yang penting anda harus tetap setia dengan pasangan yang sudah dipilih, apa pun baiknya, bagaimana pun jeleknya, itu sudah bagian dari milik anda. Jadi anda harus berusaha mempertahankan perkawinan yang telah dijalani.
Sebaliknya kepada anda yang belum menikah, ketika anda hanya menganggap dia sebagai teman dan tidak ingin menikah dengannya, maka pada saat teman anda itu ingin mendapatkan pasangan hidup, anda harus mendukung dia. Anda dapat mengatakan dengan tegas, “Kita hanya bersahabat saja, silahkan menikah dengannya”. Kadang-kadang dapat ditemukan orang yang sudah lama berpacaran namun orangtua tidak menyetujui hubungan mereka. Jika demikian, biarlah mereka menjadi sahabat saja, atau menjadi kakak adik. Namun, jika pada saat dia berpacaran membuat anda marah, maka kondisi pikiran ini salah, anda masih ingin memilikinya. Apabila anda memang bersahabat dengannya, berilah dia kondisi untuk berbahagia. Oleh karena itu perkawinan menjadi perlu dan tidak perlu adalah tergantung diri sendiri.
Adapun tujuan perkawinan adalah mencari teman hidup. Sekarang bagaimanakah untuk menjadi teman hidup? Apakah yang dibutuhkan? Kebutuhan utama menjadi teman hidup adalah kemampuan berkomunikasi. Seseorang bisa menjadi teman hidup kalau dia mau berpikir bahwa problem dia adalah problemku juga, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku, demikian pula sebaliknya. Kalau anda mampu berpikir demikian, maka anda dapat menjadi teman hidup yang baik.
Problem dia problemku, kebahagiaan dia kebahagiaanku. Dengan demikian, ketika dia bercerita, misalnya, “Bagaimana ya, orang tuaku sedang menderita, keluargaku sedang menderita”. Dst. Keadaan demikian jika mendorong anda untuk memikirkan jalan keluarnya maka problem dia adalah problemku. Bukan malah berkata, “rasain, itukan urusan keluargamu bukan urusanku”. Hal ini bisa terjadi pada suami istri. Anda tentu pernah berjumpa kondisi rumah tangga yang seperti itu di sekitar anda. Ketika pasangan hidup mengatakan, “Saya stress, keluargaku begini-begini”. Ditanggapi dingin oleh pasangan hidupnya, “Itukan keluargamu, aku sudah bosan dengan keluargamu”. Rumah tangga seperti ini hanyalah sebagai pasangan hidup, bukan teman hidup.
Demikian pula ketika kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku, maka pemikiran ini akan mendorong pasangan hidup atau teman hidup sekalipun ingin selalu mengucapkan kata-kata, ingin selalu melakukan tindakan dan berpikir agar dapat membahagiakan teman hidupnya. Oleh karena itu, jangan berbangga apabila mampu membuat teman anda menangis, “rasain, kamu memang jahat dengan saya. Kalau tidak memakinya hari ini kapan lagi aku punya kesempatan?” Jika anda senang melihat dia menangis, maka anda hanyalah pasangan hidup baginya. Anda mungkin bukan teman hidupnya. Rumah tangga yang seperti itu jika sedang cekcok masing-masing akan tega mengeluarkan kata-kata yang menyakiti pasangannya. Mungkin anda sendiri juga pernah mengalami kondisi seperti itu. Walaupun ketika anda sedang pacaran sekalipun, mungkin saja anda telah sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan pacar anda. Jika demikian halnya, anda sebenarnya hanya pasangan hidup bukan teman hidupnya. Kondisi pacaran seperti ini sangat mudah retak. Rumah tangga yang dibangun dari dasar pacaran seperti itu akan sangat mudah retak karena anda melihat penderitaan dia adalah kebahagiaan buat diri anda. Kesedihan dia adalah kebanggaan untuk diri sendiri.
Oleh karena itu, sekarang tentunya sudah dapat dimengerti bahwa pertama, secara garis besar Agama Buddha tidak menentang perkawinan namun mendukung perkawinan yang berdasarkan kesetiaan. Lalu kedua, bagaimanakah perkawinan itu dapat terjadi? Perkawinan tergantung pada tujuan hidup anda. Kalau tujuan hidup anda, misalnya, mau hidup menyendiri, hidup tidak kawin, hidup bebas, silahkan. Anda ingin menjadi wanita karir dengan tidak menikah, silahkan. Jika anda sebagai pria ingin menjadi bhikkhu, silahkan. Tidak ada yang melarang. Sedangkan hal ketiga yang perlu dipikirkan dalam keputusan anda untuk memilih hidup dalam perkawinan sebaiknya dimulai dari keinginan mencari teman hidup. bukan sekedar mencari pasangan hidup. Jika dikatakan bahwa umur sudah bertambah, “apakah aku harus segera kawin?” Jangan lakukan perkawinan. Sebab, jika hanya karena umur kemudian anda menikah maka sebenarnya anda hanya mencari pasangan hidup. “Aku sudah berumur, satpam di depan juga sudah berumur, kamu mau kawin dengan orang berumur, ayo kawin, cepat-cepat”. Untuk apa hidup seperti itu? Anda hanya bangga mempunyai pasangan hidup namun hidup anda akan kosong karena ketika setiap anda pulang ke rumah masalah akan selalu muncul kembali.
“Lingkungan saya terus mendorong saya untuk segera kawin”. Boleh saja. Lingkungan anda mendorong anda kawin, “sudah berumur, cepat kawin, bagus”. Tetapi ketika anda bermasalah, apakah lingkungan anda mau membantu menyelesaikan masalah itu? “Lingkungan saya menjodohkan si A, menjodohkan si B, bagus hasilnya.” Namun, ketika timbul masalah dalam perkawinan dengan si A atau si B yang dijodohkan, apakah mereka berpikir untuk membantu menyelesaikan? Semua penyelesaian masalah rumah tangga akan kembali pada mereka sendiri. Orang lain boleh saja mendorong anda untuk segera menikah, namun anda harus tetap berpikir, “Perlukah saya kawin?” Kalau memang anda perlu mencari teman hidup, mungkin anda perlu menikah. Tetapi kalau anda memang merasa, “aku tidak perlu teman, aku bisa hidup mandiri”, silahkan. Namun anda harus mempertimbangkan resiko terburuk. Hari ini ketika anda berumur 30 tahun, anda masih bisa mandiri, namun ketika umur 60 tahun mungkin anda hanya bisa bengong setelah terkena stroke. Masihkah saat itu bisa mandiri? “Bisa, karena aku punya duit banyak, aku akan bayar suster yang cantik-cantik; suster cantik dan jelek bayarnya juga sama, mengapa harus cari suster yang jelek. Kalau suster sudah tua, aku akan ganti lagi suster yang lebih muda dan cantik.” Jika demikian pemikirannya, maka tidak masalah untuk tidak menikah. Tidak mempunyai pasangan hidup tidak apa-apa. Silahkan dilakukan kalau memang resiko terburuk itu siap anda tanggung. Tetapi kalau anda berpikir, “aku nanti dihari tua bagaimana ya? Walaupun suster cantik adalah istri orang lain, aku tidak tahan kalau aku sendiri hanya bisa bengong”. Jika demikian pemikirannya, maka carilah pasangan hidup. Namun pasangan hidup yang dipilih belum tentu menjadi teman hidup karena anda hanya ingin mempunyai teman di hari tua. Kalau hanya ingin mempunyai teman di hari tua, masuk saja ke panti jompo. Teman sesama usia tua pasti banyak terdapat di sana. Semua sama-sama bergoyang gemetar badannya akibat usia lanjut.
Kalau demikian, sekarang apakah kebutuhan untuk menikah? Aku ingin sharing. Bagus jika demikian halnya. Kalau anda ingin berbagi rasa, berbagi cerita, ingin ada orang yang mendengarkan masalah anda, tetapi anda pun ingin mendengarkan masalah orang lain serta membantunya menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, sekarang tinggal pilih, mau menjadi teman yang lama, 24 jam sehari seumur hidup, silahkan menikah dengannya. Namun kalau anda hanya ingin curhat saja dan cukup puas berkomunikasi melalui telpon saja, maka anda tidak perlu menikah dengannya. Biarkanlah ia menikah dengan orang lain walaupun ia masih tetap teman hidup anda.
Jadi kembali lagi pada permasalahan, “perlukah kita menikah?” Ternyata semua tergantung pada diri sendiri. Dhamma hanya memberikan pilihan. Malam ini saya hanya menunjukkan kepada anda, kapan anda harus menikah? Kapan anda harus tidak menikah? Jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada kemampuan anda untuk sharing dengan orang lain. Kalau anda sudah bisa sharing dengan orang lain, “perlukah menjadikan dia sebagai pasangan hidup?”, pertanyaan ini berlaku bagi yang belum mempunyai pasangan hidup.
Bagi mereka yang sudah mempunyai pasangan hidup, hendaknya merenungkan, “perlukah saya untuk terus membina hubungan baik dengan dia?” Tentunya harus dibarengi sikap terbuka dan jujur pada pasangan hidup sendiri. Kalau anda mempunyai teman hidup namun tidak terbuka dengan pasangan hidupnya, maka tindakan itu akan mengkondisikan timbulnya pikiran bengkok. Lebih baik anda mengatakan, “saya cocok ngomong-ngomong dengan dia karena hal itu menjadikan saya lebih tenang”. Ketika anda bisa mengungkapkan kebenaran itu kepada pasangan hidup maka sharing anda dengan teman hidup pun anda menjadi lebih enak karena telah diketahui dan disetujui oleh pasangan hidup.
Sekarang apakah syarat yang dibutuhan seseorang untuk bisa sharing? Syarat utama yang diperlukan adalah kemampuan untuk memahami bahwa kesulitan dia adalah kesulitanku, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku juga. Ini adalah dasar, dasar kehidupan anda sebagai perumah tangga agar mempunyai teman hidup. Teman hidup yang diikat secara legal formal dalam lembaga perkawinan akan menjadikannya sekaligus sebagai pasangan hidup. Teman hidup yang tidak mempunyai ikatan legal formal, tetap dapat anda jadikan sebagai teman hidup yang bebas bagi dia maupun anda untuk memilih pasangan hidupnya masing-masing.
Inilah yang saya maksudkan dalam topik kita “perlukah kita menikah?” Perlu atau tidak seseorang untuk menikah sangat tergantung pada kebutuhan individu yang bersangkutan. Setiap orang mempunyai keperluan yang berbeda.
Inilah yang harus saya sampaikan pada kesempatan ini agar dengan melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan menjadikan sifat anda lebih terbuka, lebih mampu memahami kesulitan orang serta merasakan kebahagiaan orang lain. Sikap mental inilah yang akan membuat kebahagiaan dalam hidup anda pada saat anda menjadi ataupun mendapatkan teman hidup.
Hal utama di dunia ini sebenarnya adalah mempunyai teman hidup. Memiliki pasangan hidup adalah nomor dua. Kalau seseorang mempunyai pasangan hidup namun ia tidak mempunyai teman hidup maka hidupnya berpotensi mengalami stress. Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai teman hidup, maka walaupun ia tidak mempunyai pasangan hidup, ia masih akan tetap dapat merasakan hidup bahagia.
Kiranya inilah yang perlu saya sampaikan. Semoga anda selalu hidup berbahagia. Semoga segala uraian Dhamma ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga semua makhluk yang tampak maupun yang tidak tampak akan selalu hidup berbahagia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Transkrip dari ceramah oleh: Rofin Bodhikusalo, Medan

Tidak ada komentar: