Sabtu, 23 Juli 2011

syair-syair Dhammapada

BAB I. YAMAKA VAGGA – Syair Berpasangan

1. (1) Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.
2. (2) Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.
3. (3) “Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya.” Selama seseorang masih menyimpan pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir.
4. (4) “Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya.” Jika seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian akan berakhir.
5. (5) Kebencian tak akan pernah berakhir, apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir, Bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.
6. (6) Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa, dalam pertengkaran mereka akan binasa; tetapi mereka, yang dapat menyadari kebenaran ini; akan segera mengakhiri semua pertengkaran.
7. (7) Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya tidak terkendali, yang makannya tidak mengenal batas, malas serta tidak bersemangat, maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya. bagaikan angin yang menumb
8. (8 ) Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, yang inderanya tidak terkendali, yang makannya tidak mengenal batas, malas serta tidak bersemangat, maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya. bagaikan angin yang menumbangkan pohon yang lapuk.
9. (9) Barang siapa yang belum bebas, dari kekotoran-kekotoran batin. yang tidak memiliki pengendalian diri, serta tidak mengerti kebenaran. sesungguhnya tidak patut, ia mengenakan jubah kuning.
10. (10) Tetapi, ia yang telah dapat, membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan. memiliki pengendalian diri. serta mengerti kebenaran. maka sesungguhnya ia patut, mengenakan jubah kuning.
11. (11) Mereka yang menganggap, ketidak-benaran sebagai kebenaran. dan kebenaran sebagai ketidak-benaran. maka mereka yang mempunyai, pikiran keliru seperti itu, tak akan pernah dapat, menyelami kebenaran.
12. (12) Mereka yang mengetahui, kebenaran sebagai kebenaran. dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran, maka mereka yang mempunyai, pikiran benar seperti itu, akan dapat menyelami kebenaran.
13. (13) Bagaikan hujan, yang dapat menembus rumah beratap tiris. demikian pula nafsu, akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.
14. (14) Bagaikan hujan, yang tidak dapat menembus rumah beratap baik. demikian pula nafsu, tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.
15. (15) Di dunia ini ia bersedih hati. Di dunia sana ia bersedih hati. Pelaku kejahatan akan bersedih hati, di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap, karena melihat perbuatannya sendiri, yang tidak bersih.
16. (16) Di dunia ini ia bergembira. Di dunia sana ia bergembira. Pelaku kebajikan, bergembira di kedua dunia itu. Ia bergembira dan bersuka cita karena, melihat perbuatannya sendiri yang bersih.
17. (17) Di dunia ini ia menderita. Di dunia sana ia menderita. Pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu. Ia meratap ketika berpikir, “Aku telah berbuat jahat,”, dan ia akan lebih menderita lagi, ketika berada di alam sengsara.
18. (18 ) Di dunia ini ia bahagia. Di dunia sana ia berbahagia. Pelaku kebajikan, berbahagia di kedua dunia itu. Ia akan berbahagia ketika berpikir, “Aku telah berbuat bajik”, dan ia akan lebih berbahagia lagi, ketika berada di alam bahagia.
19. (19) Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai ajaran, maka orang lengah itu, sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain. Ia tak akan memperoleh, manfaat kehidupan suci.
20. (20) Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar, dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun, baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh, manfaat kehidupan suci.

BAB II. APPAMADA VAGGA – Kewaspadaan

1. (21) Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, Tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
2. (22) Setelah mengerti hal ini dengan jelas, orang bijaksana akan bergembira dalam kewaspadaan dan bergembira dalam praktek para ariya.
3. (23) Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, hidup bersemangat dan selalu bersungguh-sungguh, pada akhirnya mencapai nibbana (kebebasan mutlak).
4. (24) Orang yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian diri, hidup sesuai dengan Dhamma,dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan bertambah.
5. (25) Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana, membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.
6. (26) Orang dungu yang berpengertian dangkal, terlena dalam kelengahan, sebaliknya,orang bijaksana senantiasa menjaga kewaspadaan. seperti menjaga harta yang paling berharga.
7. (27) Jangan terlena dalam kelengahan, Jangan terikat pada kesenangan-kesenangan indria. Orang yang waspada dan rajin bersamadhi, akan memperoleh kebahagiaan sejati.
8. (28 ) Bilamana orang bijaksana, telah mengatasi kelengahan dengan kewaspadaan, maka ia akan bebas dari kesedihan, seakan memanjat menara kebijaksanaan, dan memandang orang-orang yang menderita di sekelilingnya, seperti seseorang yang berdiri diatas gunung memandang mereka yang berada di bawah.
9. (29) Waspada di antara yang lengah, berjaga di antara yang tertidur, orang bijaksana akan maju terus, bagaikan seekor kuda yang tangkas berlari meninggalkan kuda yang lemah di belakangnya.
10. (30) Dengan menyempurnakan kewaspadaan, Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa. Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji, dan kelengahan akan selalu dicela.
11. (31) Seorang bhikkhu, yang bergembira dalam kewaspadaan, dan melihat bahaya dalam kelengahan, akan maju terus membakar semua rintangan batin, bagaikan api membakar kayu, baik yang besar maupun yang kecil.
12. (32) Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan, dan melihat bahaya dalam kelengahan, tak akan terperosok lagi, Ia sudah berada di ambang pintu nibbana.

BAB III. CITTA VAGGA – Pikiran

1. (33) Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.
2. (34) Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.
3. (35) Sukar mengendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.
4. (36) Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus, pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.
5. (37) Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.
6. (38 ) Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran yang benar, yang keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.
7. (39) Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.
8. (40) Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.
9. (41) Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah,dibiarkan saja, tanpa kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.
10. (42) Luka dan kesakitan macam apa pun, dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan secara salah, akan melukai seseorang jauh lebih berat.
11. (43) Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik, yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.

BAB IV. PUPPHA VAGGA – Bunga Bunga

1. (44) Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa? Siapakah yang akan menyelidiki Jalan Kebajikan yang telah diterangkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga?
2. (45) Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa. Seorang siswa yang masih berlatih ini akan menyelidiki jalan kebajikan yang telah diajarkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga.
3. (46) Setelah mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, dan setelah menyadari sifat mayanya, maka hendaknya seseorang mematahkan bunga nafsu keinginan, dan menghilang dari pandangan raja kematian.
4. (47) Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau, akan diseret oleh kematian. Bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
5. (48 ) Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria, yang pikirannya kacau dan tak pernah puas, akan berada di bawah kekuasaan Sang Penghancur (kematian).
6. (49) Bagaikan seorang kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna dan baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.
7. (50) Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.
8. (51) Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.
9. (52) Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.
10. (53) Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
11. (54) Harumnya bunga, tidak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan, dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru.
12. (55) Harumnya kebajikan, adalah jauh melebihi harumnya kayu cendana, bunga tagara, teratai maupun melati.
13. (56) Tidaklah seberapa, harumnya bunga tagara dan kayu cendana; tetapi harumnya mereka, yang memiliki sila (kebajikan), menyebar sampai ke surga.
14. (57) Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila, yang hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.
15. (58 ) Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan, tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.
16. (59) Begitu juga di antara orang duniawi, siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna, bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.

BAB V. BALA VAGGA – Orang Bodoh

1. (60) Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga, satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah; sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh yang tidak mengenal Ajaran Benar.
2. (61) Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Janganlah bergaul dengan orang bodoh.
3. (62) “Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku,” demikianlah pikiran orang bodoh. Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya, bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?
4. (63) Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.
5. (64) Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, tetap tidak akan mengerti Dhamma, bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.
6. (65) Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
7. (66) Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya, memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.
8. (67) Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik. Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap tangis dan wajah yang berlinang air mata.
9. (68 ) Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik. Orang itu akan menerima buah perbuatannya dengan hati gembira dan puas.
10. (69) Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.
11. (70) Biarpun bulan demi bulan orang bodoh memakan makanannya dengan ujung rumput kusa, namun demikian ia tidak berharga seperenambelas bagian dari mereka yang telah mengerti Dhamma dengan baik.
12. (71) Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan, tidak segera menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.
13. (72) Orang bodoh mendapat pengetahuan dan kemashuran yang menuju kepada kehancuran, Pengetahuan dan kemashurannya itu akan menghancurkan semua perbuatan baiknya, dan akan membelah kepalanya sendiri.
14. (73) Seorang bhikkhu yang bodoh, menginginkan ketenaran yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga.
15. (74) “Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini hanya dilakukan olehku, dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku, “demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu, dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.
16. (75) Ada jalan lain menuju pada keuntungan duniawi, dan ada jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri.
Bersambung……….

Minggu, 26 Juni 2011

Alasan Menghormati Sang Buddha


Add caption

Kurangi Kejahatan, Perbanyak kebajikan, Sucikan Pikiran, Inilah ajaran Para Buddha

Saudara-saudara, bersama-sama pada kesempatan ini kita menyambut peringatan Magha Puja. Magha Puja adalah merupakan salah satu hari raya Agama Buddha selain Waisak, Asaddha serta Kathina.
Pada saat Magha Puja, kita memperingati satu peristiwa yang cukup penting sejak jaman Sang Buddha yaitu berkumpulnya 1250 Bhikkhu, yang semuanya ditahbiskan Sang Buddha, yang semuanya Arahat, yang datang tanpa diundang.
Kalau kita berbicara tentang berkumpulnya 1250 Bhikkhu yang Arahat pada saat Magha Puja, padahal Magha Puja ini terjadi 7 bulan setelah Sang Buddha mencapai Kesucian, Magha Puja ini kan kira-kira di Indonesia bulan Februari, Magha adalah nama bulan, kira-kira Februari. Kalau Sang Buddha mencapai kesucian di bulan Waisak, atau kira-kira di bulan Mei, maka Magha Puja ini kira-kira 9 bulan setelah Sang Buddha mencapai kesucian. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, setelah Sang Buddha mencapai kesucian, Beliau tidak langsung mengajar. Beliau berdiam diri dulu selama 7×7 minggu, sampai dengan pengajaran Dhamma, yaitu di bulan Asadha. Asadha kira-kira di Indonesia bulan Juli. Jarak bulan Juli sampai Februari adalah 7 bulan jaraknya. Jadi selama 7 bulan ini ada orang yang mendengar Dhamma Sang Buddha dan mencapai kesucian, paling tidak 1250 orang yang mencapai kesucian, seperti makna yang terkandung dalam Magha Puja. Berarti kalau 1250 dibagi 7 bulan, berapa orang yang mencapai kesucian dalam sebulan? Sekitar 178 orang. Berarti dalam 1 bulan ada 178 orang yang mencapai kesucian. Satu hari kira-kira ada 6 orang yang mencapai kesucian.
Dengan demikian, ketika Sang Buddha mengajar, setiap hari rata-rata 6 orang yang mencapai kesucian dengan berbagai cara, dengan meditasi, dengan mendengarkan Dhamma Sang Buddha dan sebagainya. Apakah yang muncul dalam pikiran kita saudara? Kalau seorang guru mengajar, dan setiap hari bisa lulus 6, apakah tidak luar biasa cara guru itu mengajar? Anda sendiri yang kuliah, diterangkan oleh sang dosen, berapa persen yang Anda serap di kepala Anda? Apakah Anda bisa menyerap 100%, apakah hanya 70%, apakah 50%, apakah cuman 30% ataukah lupa semua? Apalagi kalau dosennya menjengkelkan, Anda masuk hanya karena absensi, pulang juga tidak mengerti apa-apa. Namun jika dosennya menyenangkan, Anda akan mendengar dengan baik, dan Anda bisa memahami pelajaran yang diberikan dengan baik.
Kalau sekarang Sang Buddha mengajarkan Dhamma, 1 hari lulus 6 orang, apakah bukan dosen yang luar biasa baiknya? Rata-rata 1 hari 6 orang yang mencapai kesucian, sehingga 7 bulan setelah hari Asadha ada 1250 orang yang mencapai kesucian, paling tidak, sejumlah itulah mereka yang datang tanpa diundang, mungkin saja lebih dari itu. Namun yang disebutkan dalam Magha Puja Gatha, 1250 orang mencapai kesucian hadir tanpa diundang.
Kalau kita sudah kagum dengan Sang Buddha, maka di dalam Magha Puja Gatha juga disebutkan : “Dengan bunga, dupa dan lilin, saya menghormat Sang Buddha beserta para Arahat”. Kenapa menghormat dengan dupa dan lilin? Kenapa menghormat Sang Buddha dan para Arahat?
Kita menghormat kepada Sang Buddha salah satunya adalah karena Sang Buddha bisa meluluskan 6 orang dalam 1 hari, yaitu 6 orang mencapai kesucian dalam 1 hari. 7 bulan 1250 orang. Dan kenapa kita menghormat kepada para Arahat? karena Arahat inilah yang telah membuktikan kebenaran Ajaran Sang Buddha. Kalau hanya gurunya yang pintar, muridnya tidak ada yang lulus, maka guru boleh pintar tapi tidak bisa mengajar. Mungkin dosen Anda yang pintar, mungkin gelarnya sudah S2 atau S3, tetapi muridnya yang jadi mahasiswanya, sulit sekali lulus. Apakah hal ini karena sebenarnya dosen yang pintar atau murid yang kurang pandai? Tetapi Sang Buddha tidak demikian. Sang Buddha mengajar dan muridNya juga lulus. Ada guru yang mengajar dan muridnya tidak lulus-lulus, tidak bisa sama seperti gurunya, tetapi Sang Buddha ketika mengajarkan muridNya mencapai kesucian, dan itu sama pencapaiannya dengan yang dialami oleh Sang Buddha. Berarti sistimatika pengajaran yang baik sekali. Murid-murid mencapai kesucian menunjukan bahwa sistimatika pengajaranNya bisa diikuti oleh siapapun juga. Kalau sudah ada 1250 orang yang mencapai Arahat dalam 7 bulan, dan setelah itu masih banyak Arahat yang lain, maka tentu kita semua juga mempunyai kesempatan untuk mencapai kesucian pula.
Tetapi apa gunanya kita menghormat dengan lilin, dupa dan bunga? Lilin kalau kita pasang, sebetulnya itu adalah sebagai lambang penerangan. Walaupun siang hari cahaya lilin ini kurang berarti, umat Buddha tetap memasang lilin. Hal ini karena lilin adalah lambang penerangan. Lilin yang dipasang ada 2 yaitu di sini kiri dan kanan. Kedua posisi ini melambangkan pengertian yang benar tentang hal baik dan hal buruk. Di dalam Dhamma ini, kita harus bisa membedakan dengan jelas antara baik dan buruk. Kalau orang hanya tahu yang baik saja, nanti begitu ia mengetahui hal yang buruk maka ia akan bingung. Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seseorang. Ia adalah orang yang benar-benar telah berubah cara berpikirnya. Apa yang membuat dia berubah? Sejak kecil dia diajarkan kebaikan, membaca paritta, menghormat orang tua, tidak mengeluarkan kata-kata kotor; semua yang baik-baik, yang jelek dipotong semua. Suatu saat dia lewat di pinggir sebuah vihara. Dia tidak masuk ke dalam vihara. Kebetulan waktu itu ia hanya lewat dengan mobil. Tiba-tiba dalam pikiran dia muncul kata makian terhadap Sang Buddha. Kata makian ini walaupun telah ia dihindari sejak kecil, ia tetap mendapatkannya dari teman kuliah, televisi, pergaulan dsb. Ia telah mendengarkan sekian banyak kata makian walaupun dia tidak pernah mengucapkannya sendiri. Anda semua tentunya jarang atau bahkan tidak pernah memaki, namun beberapa kata makian pasti masih Anda ingat bukan? Ada ‘kamus” maki-maki yang Anda miliki dalam otak meskipun tidak pernah Anda pergunakan.
Demikian pula dengan anak yang diceritakan ini. Begitu ia melewati depan sebuah vihara, tiba-tiba terpikirlah kata-kata makian dan ia memaki Sang Buddha dalam pikirannya. Ia merasa sangat bersalah luar biasa. “Aku sudah memaki Sang Buddha. Aku bahkan tidak pernah memaki orang biasa. Kini aku telah memaki Sang Buddha.” Pikiran semacam itulah yang menghantui dirinya.
Satu hari, dua hari, tiga hari, dia makin stress, “Aku kok sudah memaki Sang Buddha?” Akhirnya ia sulit tidur, tidak mau makan, dan ia kemudian benar-benar masuk rumah sakit jiwa. Ia masuk rumah sakit jiwa karena ia lewat vihara dan berpikir telah memaki Sang Buddha. Apa sebab keadaan ini bisa terjadi? Orang ini bisa demikian karena ia tidak pernah mengerti bahwa di dalam kehidupan kita, di dalam diri kita ada kebaikan dan tentu ada keburukan juga. Kita telah menjadi umat Buddha bukan berarti kita tidak boleh berpikir buruk, tetapi kita berusaha menghindari pikiran buruk.
Dahulu ada seorang bhikkhu yang baru saja ditabhiskan. Setelah menjadi bhikkhu, ia merasa masih mempunyai pikiran yang buruk. Ia akhirnya stress.”Aku ini sudah menjadi bhikkhu tetapi kenapa saya masih berpikir yang jelek-jelek”. Gurunya mengetahui kebimbangan yang ada dalam pikiran bhikkhu tersebut. Sang Guru kemudian berkata : “Meskipun engkau sudah ditabhiskan menjadi bhikkhu, hal itu bukan berarti segala bentuk pikiran yang dimiliki dapat segera berubah menjadi baik. Tidak demikian memang. Hal yang terpenting dalam menyikapi adanya pikiran buruk tersebut adalah dengan tidak melakukannya. Inilah perbedaan penting antara orang yang sudah menjadi bhikkhu dengan mereka yang belum.”
Nasehat inilah yang diberikan kepada umat yang sedang sakit karena merasa berpikir telah memaki Sang Buddha. Dengan merenungkan nasehat ini setiap hari maka akhirnya dia pun menyadari bahwa didalam dirinya ia mempunyai nilai baik dan nilai buruk.
Oleh karena itu ketika kita memasang dupa dan lilin, kita memasang lilin dua batang atau sepasang, ada kiri ada kanan. Kita hendaknya mempunyai pengertian yang benar tentang baik dan buruk. Anda berbuat baik, tetapi di sisi yang lain mungkin anda benci atau mempunyai kebencian dengan objek kebaikan. Misalnya: Ke vihara, adalah berbuat baik, tetapi di satu sisi Anda mungkin punya pikiran “Aku ini sebenarnya malas datang ke vihara. Duduknya harus di lantai. Capai.” Anda mungkin senang ke sekolah. Namun Anda juga punya nilai benci, “Aku sebenarnya senang sekolah atau kuliah. Tapi kalau sudah waktunya harus menempuh ujian, saya sungguh tidak menyukainya.” Begitulah. Kita selalu mempunyai nilai baik, begitu pula dengan nilai buruk sebagai pilihan kita. Hal ini sama dengan memasang sepasang lilin yang bermakna mengetahui nilai baik dan juga nilai buruk.
Oleh sebab itu, pada saat pertemuan di bulan Magha, 1250 itu diberi nasehat oleh Sang Buddha: kurangi kejahatan, tambah kebajikan. Nasehat itu juga dapat disebut sebagai kedua sisi tadi. Bahwa kita masih mempunyai benih kejahatan. Pikiran kita masih bisa muncul pikiran jelek. Itu adalah normal. Kita mungkin masih ingin memaki orang. Kita mungkin masih ingin menyakiti orang. Namun, dengan kita mampu menyadari timbulnya pikiran buruk tersebut, kita dapat berusaha untuk mengurangi, mengurangi, mengurangi, sehingga akhirnya kita bisa menghentikan sama sekali timbulnya pikiran buruk itu.
Sebaliknya di sisi yang lain adalah menambah kebajikan. Sikap baik ini juga harus kita kembangkan. Inilah salah satu sisi kehidupan kita yang lain, bahwa kita mengetahui perbuatan yang baik. Bagaimana seharusnya kita melakukan sesuatu bahwa saya harus berbuat baik begini, saya harus berbuat begitu, saya tahu. Namun, kebanyakan dorongan kebajikan yang dimiliki tersebut hanya berhenti sampai disitu.
Satu contoh sederhana: Surabaya banjir. Jakarta banjir, begitu pula dengan beberapa daerah di pantai Utara pulau Jawa. Namun sebaliknya, di beberapa daerah lain tidak ada banjir, adanya tanah longsor. Kita mengetahi bahwa para korban bencana alam itu sangatlah menderita. Kita tahu bahwa di berbagai media massa menyediakan kesempatan untuk membantu korban musibah ini. Mungkin akan timbul dalam pikiran kita : “Aduh kasihan orang yang menderita seperti itu” Namun, pikiran baik kita hanya berhenti sampai di situ saja. Dorongan untuk merealisasikan rasa kasihan tersebut kebanyakan hilang begitu saja. Kita tidak mewujudkan rasa kasihan dalam bentuk tindakan untuk segera membantu para korban dengan tenaga, materi maupun berbagai hal lainnya. Kita tidak melakukan hal itu.
Kita sudah mengetahui bahwa telah ada “Dompet” bencana alam berarti ada kesempatan untuk berbuat baik. Kita sudah ingin menolong, namun tidak segera dilaksanakan. Inilah sisi baik dalam diri kita. Sudah baik kalau bisa memiliki hal ini. Namun, selama belum dilaksanakan, maka pikiran baik ini kurang bermanfaat untuk fihak lain. Oleh karena itu pada bulan Magha Sang Buddha mengajarkan, kejahatan yang kita miliki harus dikurangi, sedangkan kebaikan yang kita miliki harus dikembangkan. Kita tentu gampang melihat orang yang menderita di lingkungan kita, mungkin di perempatan-perempatan jalan kita melihat pengemis. Kita mungkin timbul rasa kasihan. Kita mempunyai uang untuk diberikan, namun kadang kita sempat berpikir: “Ah sudahlah, biarkan dulu saja. Besok sajalah baru dibantu. ” Dorongan berbuat baik yang telah timbul segera lenyap begitu saja. Dalam Dhamma hal inilah yang perlu disikapi secara hati-hati. Jangan sampai dorongan kebaikan yang telah kita miliki hilang begitu saja. Mari kita kembangkan. Mari kita lakukan. Kalau kita sudah berfikir hal yang baik, kita harus langsung kerjakan. Dengan demikian, kita bisa memupuk kebajikan sebanyak-banyaknya di masa sekarang.
Sebaliknya, kita juga mengetahi timbulnya pikiran buruk. Kita mengetahui bahwa, misalnya, nyontek adalah tidak baik. Namun, ternyata kita masih sangat sulit untuk menghentikannya. Dalam ujian, kita masihb berusaha menoleh kekanan maupun kekiri untuk mendapatkan jawaban ujian yang kita inginkan. Kadang kita memang mengerti hal-hal yang buruk. Pengertian ini timbul karena dalam diri kita sesungguhnya telah ada ukuran kejahatan. Sayangnya kita masih sering melanggar dan melakukan kejahatan itu. Apakah yang menjadi ukuran? Sederhana sekali. Apabila ketika kita melakukan suatu perbuatan dibarengi dengan jantung berdebar keras karena takut ketahuan orang lain, maka hal itu adalah perbuatan buruk atau tidak pantas kita lakukan. Jangan lakukan tindakan itu.
Kembali pada pesan Sang Buddha kepada 1250 orang bhikkhu di bulan Magha adalah untuk mengurangi kejahatan, menambah kebaikan serta menyucikan pikiran. Mengenai menyucikan pikiran semua orang tentunya sudah mengetahuinya. Para umat Buddha tentu lebih mengetahuinya karena menyucikan pikiran dapat dilatih dengan meditasi. Akan tetapi, berapa orang diantara kita yang rutin melakukan meditasi di rumah?
Padahal kita mengetahui bahwa meditasi adalah untuk mengembangkan pikiran yang positif. Meditasi untuk mengembangkan pengendalian pikiran. Sayangnya, kita tidak mau berjuang melatih meditasi. Oleh karena itu tidak salah, kalau pesan yang sudah diberikan Sang Buddha sekian ribu tahun yang lalu bahwa: kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran, kembali harus diulang lagi pada kesempatan ini untuk kita semua. Tidak salah, karena kita belum melaksanakannya. Kejahatan yang kita miliki masih terus dikerjakan. Kebaikan yang sudah ada dalam pikiran kita masih belum kita laksanakan. Meditasi yang telah kita mengerti manfaatnya, bahkan sudah sampai bosan dinasehati untuk bermeditasi, tetap saja masih belum kita kerjakan. Oleh karena itu, kita harus terus menerus merenungkan ketiga kalimat : kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran itu karena ketiga kalimat tersebut sebenarnya telah dilaksanakan oleh seorang yang telah mencapai Arahatta.
Kenapa demikian? Karena di dalam Dhamma diceritakan bahwa para Buddha yang terdahulu sebenarnya jika memberikan peraturan kepada para bhikkhu hanya 3 hal tersebut yaitu: kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran. Mereka semua kemudian mencapai kesucian tertinggi yaitu Arahatta. Namun, para bhikkhu di zaman Sang Buddha Gotama inilah yang paling banyak memiliki peraturan. Tampaknya hanya diberi ketiga kalimat : kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran saja masih kurang. Masih banyak bhikkhu yang bertindak kurang sesuai. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian terus menerus memberikan peraturan yang baru sehingga akhirnya mencapai 227 peraturan banyaknya. Namun, sebenarnya dasar utama yang perlu kita mengerti dari semua peraturan itu adalah : kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran yang akan mengantarkan seseorang mencapai kesucian.
Dengan memasang dua lilin pada saat memulai kebaktian berarti kita sebenarnya diharapkan untuk mampu membedakan antara hal yang baik dari hal yang buruk. Pada saat kita memasang dupa sampai habis meninggalkan sisa lidi adalah melambangkan kehidupan seseorang mulai dilahirkan sampai meninggal dunia. Semuanya pasti mengalami kematian.
Selama umur masih ada, selama kehidupan masih berlangsung, dupa memberikan wewangian ke seluruh penjuru ruangan. Demikian pula dengan kehidupan kita, selama umur masih ada, selama kehidupan masih kita jalani, kita hendaknya selalu bisa mengembangkan kebaikan, menghindari kejahatan, sehingga akhirnya muncullah bunga, bunga yang mewangi. Bunga yang mewangi melambangkan segala sesuatu yang indah, mekar di dalam pikiran kita, yaitu pencapaian kesucian. Oleh karena itu memuja Sang Buddha dan para Arahatta dengan bunga, dupa serta lilin, bukanlah sekedar bunga, dupa dan lilin secara fisik saja, melainkan hendaknya terjadi perubahan dalam perilaku kita. Perilaku kita hendaknya disesuaikan dengan apa yang kita dapatkan, yaitu kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran.
Lebih hebat lagi, Sang Buddha memberikan kalimat yang terakhir setelah ketiga baris yang diuraikan di atas yaitu: Inilah ajaran para Buddha. Kalimat ini perlu disebutkan karena sejak dahulu kala sampai hari ini bahkan di masa yang akan datang, semua Buddha hanya mengajarkan kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran. Kita sebagai umat Buddha, kemanapun kita pergi, apabila mengalami kesulitan untuk mendapatkan buku-buku Dhamma, maupun orang-orang yang dapat diajak berdiskusi Dhamma, maka kita cukup merenungkan ketiga kalimat : kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran, karena itulah yang sebenarnya menjadi intisari Dhamma yang diajarkan Sang Buddha.
Selamat Magha Puja. Semoga pada saat kita melakukan penghormatan dengan bunga, dupa serta lilin kepada Buddha dan kepada para Arahat, kita hendaknya telah mampu merenungkan:”Sudahkan saya menjalani kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan, sucikan pikiran?” Karena dengan kita merenungkan serta menjalaninya, kita akan dapat menambah deretan orang yang telah mencapai kesucian.
Kalau Dhamma yang diajarkan Sang Buddha dalam satu hari terdapat enam orang yang mencapai kesucian sehingga selama tujuh bulan terdapat 1250 orang, maka tentunya kurangi kejahatan, perbanyak kebajikan serta sucikan pikiran itu kalau kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pun akan menambah jumlah mereka itu semua.
Semoga Anda selalu yakin dan bersemangat didalam Dhamma. Semoga semua mahkluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan memperoleh kebaikan, kebahagian sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing,
Sabbe Satta Bhavantu Sukhittata