Sabtu, 11 Juni 2011

Artikel Pendidikan


Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta.

Artikel:
Domestikasi Arah Politik Pendidikan


Judul: Domestikasi Arah Politik Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis):
T.H. Hari Sucahyo
Saya Pengamat di Semarang
Topik: Meluruskan Persepsi Politisi tentang Pendidikan
Tanggal: 29 November 2004
Adalah seorang Paulo Freire yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ? tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumberdaya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif ? atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok ?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan bila mencermati pelaksanaan politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka merebut bangsa ini dari tangan penjajah. Mereka adalah pemimpin politik yang dapat dipandang sebagai model yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya : Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi.

Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak berasyik masyuk dengan kepentingan kelompok,karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Dalam pandangan mereka dunia pendidikan tidak menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan, digeser ke pinggir. Hal ini bisa dilihat dari animo partai politik terhadap posisi-posisi politis. pada umumnya untuk kementerian Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, atau BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian Pendidikan dianggap poisisi kering, sehingga klop kalau dikategorikan sebagai pelengkap atau hiburan yang boleh diambil siapa pun yang berminat.
Maka tidak mengherankan bila dalama periode tersebut bahkan hingga sekarang dunia pendidikan mengalami krisis. salah urus, begitu kata-kata yang tepat terhadap dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun Orde Baru plus 6 tahun Orde Reformasi, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, saran-prasarana, evaluasi akhir, dan masalah-masalah yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.

Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari sekedar slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah diucapkan, namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik. seperti dikatakan David N. Plank dan William Lowe Boyd ( 1994 ) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise : The Flight From Democracy, bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain; justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.
Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan ( domestikasi ) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin ( menyitir ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner )

Meskipun begitu kita tetap percaya dibawah Kabinet Indonesia Bersatu ( KIB ) masih akan ditemukan politisi-politisi, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang mengutamakan hati nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan menjadi over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan pendidik saatnya untuk mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi; namun ke depan,ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.


Pendidikan Jarak Jauh


Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi : (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan; (4) Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Ini menunjukan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan.

Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan.

Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi


Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai.

Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun

Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota tahun depan akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang.

Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran.

Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu.

Untuk itu Dinas Pendidikan Propinsi Riau bersama dengan LPTK (FKIP UNRI) akan melaksanakan sosialisasi tentang program ini, telah melakukan rapat koodinasi tanggal 15 November 2003 bersama seluruh kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau. Pada kesempatan itu Pemerintah Pusat melalui Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi memberikan beberapa informasi pada pertemuan itu. Sehingga kesepakatan untuk melaksanakan program peningkatan Sumber Daya Manusia dalam hal ini "Guru" dapat terwujud sesuai dengan apa yang direncanakan. Semoga.



ETORIKA PENDIDIKAN INDONESIA


 
Konsep ini sekiranya saya berikan untuk Sahabat ,teman sejawat yang lama tidak berjumpa selepas dari Singapore ,untuk lebih intents menggali , mengkritisi , memacu dan menjadi Orang samin di tengah tengah Dunia pendidikan Indonesia yang tidak tahu akan di bawa ke mana .

Dalam pergaulan Orang tidak dilihat Pangkat, gelar, jabatan dan kedudukannnya melainkan apa yang orang tersebut lakukan sahabat, Baikkah perbuataannya?, burukkah perbuataannya? atau terhinakah perbuataannya?.Jangan dikira dengan menjadi sarjana diriku bangga, bukan sahabat , justru dengan menjadi doktor di bidangku sejuta tanggung jawab menanti di pundakku , sejuta godaan juga di hadapannku .Seandainya aku boleh memilih dahulu aku akan menjadi manusia biasa dengan title biasa dari pada menjadi sarjana . Manusia akan merasa kurang dan kurang ketika sebuah harapan telah di capai. Harapan itulah yang membuat ambisi menjadi sebuah Kristal yang menggumpal , harapan pulalah yang menjadikan manusia lebih Tendesius untuk kepastian . Dalam hal ini saya pribadi sangat respek dengan anda di usia masih muda bisa menggungkapkan sebuah konsep, yang benar-benar menuntut saya untuk mengimbangi kecepatan anda dalam bertindak. Akurasi anda dalam menganalisa.
Marilah kita bedah Konsep Retorika Pendidikan Indonesia untuk kita terapkan dalam dunia kecil kita Negeri Dongeng nantinya dunia yang dimana jauh dari rasa iri dengki, kesombongan yang menerpa manusia ketika menerima sebuah jabatan. Konsep ini tidak membutuhkan manusia yang pintar, sombong, dengki, iri, dan seluruh ketamakaan manusia lainnya, melainkan konsep untuk tetap rendah, mawas dan memahami serta mengalirkan hidup menuju Ketuhanan.

A. KOCAKNYA BANGSA INDONESIA
SIAPA bilang bangsa kita tidak kocak. Dominasi program lawak di televisi menunjukkan,bangsa kita gemar membanyol. Ketika dunia berlomba mengejar inventor hi-tech yang naik pesat, tingkat partisipasi korupsi kita-menurut koran-sudah sampai kelurahan. Bahkan sudah pula merambah dunia pendidikan di Indonesia . yang lebih membanyolkan diri dengan entengnya prof - prof di Indonesia mengatakan itu hal yang biasa terjadi di masa tranformasi dari masa reformasi . kalau hal itu biasa lantas yang mana akan menjadi luar biasa ? sulit bukan menjawab pertanyaan tersebut , seperti kata saya terdahulu mereka sudah mengidap tuli gaya hindia - belanda sehingga sibuk menjadikan diri mereka tokoh mbilung yang sengaja membilungkan diri . Konyol , Bisa bisa Mbilung melawan Samin , padahal dua hal ini adalah sangat terkait satu sama lainnya
Tetangga sebelah anda akan bilang, ihwal perkara miring , kita memang nomor satu. Sekian puluh tahun kita rajin memelihara wabah demam berdarah, misalnya. Kocaknya, keluarga korban demam berdarah yang tak tertolong masih ada yang tidak gusar. Padahal, rakyat Belanda yang knalpot mobilnya rusak gara-gara pemerintah membiarkan jalan jeglok saja mencak- mencak menuntut ganti rugi . Konyol bukan ? Pernah juga saya mendengar kisah seorang sopir taksi asal Sumatera Utara yang bergurau kepada saya berceloteh, Kayak di Bosnia saja, ketika melintasi jalan raya berlubang di Ibu Kota , yang pajak mobilnya tertinggi di Indonesia, tetapi aspalnya sudah bagai kubangan kerbau.
Mungkin di situ enaknya (maaf) menggembala rakyat Indonesia. Selain rasa humornya tinggi,mereka susah marah, pandai tersenyum, mudah trenyuh, dan gampang menangis. Jika ada satu-dua rakyat yang terbilang Samin tentu bukan mewarisi genetika politik bangsa kita ang cenderung memilih suka nrimo . Karena memang Dengan Sikap Skeptis di tunjulkan samin menjadikan penguasa gerah , merasa Sok Pintar sok pandai karena merasa lulusan UCLA , Berkley atau Harvad .
Namun satu hal harus diakui, bangsa kita mudah curiga, bersyak-wasangka, dan lekas tersinggung. Kata seorang sosiolog, boleh jadi karena wujud kekocakan karakter biar miskin asal sombong . Kocaknya, benci kepada orangnya, tetapi mau menerima sumbangannya.

Pernah pula menyaksikan sekian banyak penumpang bus luar kota yang sudi duduk di lantai bus padahal membayar ongkos penuh. Atau mereka tak marah diturunkan seenaknya di tengah jalan sebelum tiba ke tujuan dan mereka masih tertawa. Kita mafhum, boleh jadi karena sejak bayi bangsa kita selain rajin diajak tersenyum, juga belajar pandai tertawa ,ironis sekali , bukan ? katanya banyak Orang yang merasa menjadi Doktor termasuk saya, tetapi kenapa begitu naïf membiarkan orang bergelantungan di atas bus tanpa AC ? lantas bagaimana layanan publik Kita? Sudah begitu parahkah hingga Dunia Perguruan Tinggi /Universitas tidak mampu melakukan riset mengenai bagaimana mengatasai kemacetan lalu lintas yang di buat sendiri sehingga orang bergelantungan di atas bus umum tanpa layanan yang memadai ?

MELIHAT gejala seperti itu seorang teman psikolog saya bilang, mungkin itu sebabnya mengapa bangsa kita tergolong tahan banting. Dari muda mereka terbiasa hidup berdampingan secara damai dengan tekanan, krisis, konflik, dan frustrasi. Daya tahan stresnya menjadi kokoh. Oleh karena itu, boleh jadi dalam menghadapi tiap kematian sia-sia,atau mati konyol anggota keluarga sekalipun, mereka terlihat masih tegar
Sejelek-jelek layanan publik yang pernah dialami masyarakat , masih ada pihak yang mereka sanjung. Penderitaan dan kesusahan jelas-jelas mereka alami karena human error, masih disangka God's decision.Tengok mereka yang bergelantungan di bus kota tiap hari, tanpa berpendingin merayap dijalan macet, dan macetnya akibat buatan manusia dan ulah penguasa yang sibuk menjadi Tokoh Mbilung yang membilungkan diri di hadapan Pandawa . Atau, beratnya menempuh buruknya jalan desa, tetapi mereka tabah menerima. Padahal, setelah lebih dari setengah abad merdeka, sudah selayaknya semua kesusahan itu tak mereka alami. Namun kocaknya,bagi mereka, semua itu bukan masalah.
Tampaknya, dalam urusan badan, mereka boleh lelah dan letih, juga boleh nyeri, asal hati tetap ayem mereka tak mudah menjadi berang.Asalkan tidak sengaja menusuk hati, bangsa kita enak diajak bergaul. Turis asing senang datang ke negeri kita bisa jadi salah satunya karena dalam serba kekurangan bangsa kita masih bertegur sapa dan tulus tersenyum. Sutradara film mungkin melihatnya sebagai sebuah puisi. Masih ada senyuman tulus di balik kegetiran hidup. Bagi setiap filsuf, potret itu juga sebuah kekocakan hidup.Di negeri orang lain, warga terantuk batu saja sudah berteriak keras. Kocaknya bangsa kita,meski sudah lama terinjak, mungkin diinjak, masih saja mesem yang tidak dibuat-buat ala Mr Bean. Mesemnya menggendong ketegaran hidup. Jika sampai marah, mereka menyampaikan dengan santun.
Bangsa lain mungkin sudah menjerit, bangsa kita menahan rasa perih pedih kehidupan tanpa mengaduh. Perhatian kecil dari penguasa membuat rakyat sumringah-nya luar biasa. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka kecukupan makan tiap hari. Kocaknya pula, bangsa kita masih sering takut kepada polisi kendati tidak bersalah. Masih tetap menaruh hormat kepada pamong, kendati proyek jalan desa dikorupsi dan sawah dibiarkan puso , yang lebih konyolnya lagi masih menggantungkan harapan besar untuk bisa menjadi Mahasiswa PTN padahal NEGARA tempat Kita bernaung tidak memberikan jaminan kepastian apakah anak kita bisa bekerja atau malah jadi penggangguran intelektual ketika lulus Perguruan Tingi ?
Kita ingin menyetir gejala orang-orang di negara sosialis, yang saking beratnya hidup, tanpa boleh berontak dan mengaduh sehingga yang muncul ungkapan satir dan gereget humor sebagai katarsis. Dari situ ada tangkai-tangkai humanisme yang mungkin terpetik. Kalau di sana, misalnya, tumbuh fenomena sosial Mati Ketawa Cara Rusia , rasanya bukannya dibuat buat bila di sini ada pula spesies hidup berbangsa dengan kekocakan karakter Mati Ketawa Cara Indonesia apakah anda mau coba ?
B. Mengurai Benang Kusut Pendidikan
Jika pelaku Pemogokkan buruh dan mengorganisir rakyat kecil melawan kapitalis belanda itu lulusan sekolah khusus samin , maka lembaga pendidikan mereka berhasil menjalankan visi dan misinya:mendidik orang menjadi Seorang Samin yang handal, setia pada tujuan. Saya tidak berbicara baik- buruk, benar-salah, atau mulia-jahatnya tindakan tersebut dan cara yang dipilih untuk mencapai tujuan. Saya menilik bagaimana visi-misi pendidikan diimplementasikan sehingga peserta didik menghidupi dan menjalankannya secara total dan all out.Yang jelas, proses pendidikan di sekolah Samin telah menumbuhkan keberanian dan kemauan bertindak lulusannya, yang konyol di mata kita, tetapi merupakan indikator sukses guru-gurunya. Pembaiatan menjadi semacam wisuda untuk mengukuhkan keberanian dan kemauan itu. Lembaga-lembaga pendidikan formal kita, dan lembaga pendidikan umum di mana pun, jelas tidak dimaksudkan untuk mendidik orang samin . Lembaga-lembaga pendidikan kita memiliki tujuan filsafati luhur. Saking luhurnya lupa bahwa yang didik adalah masyarakat yang masih perlu di sadarkan lebih jauh.
Ada proses dan pengukuran. Ada pengukuhan janji dalam wisuda. Namun, tidak sedikit lulusan dunia pendidikan kita yang tidak menunjukkan keberanian dan kemauan bertindak menurut tujuan dan nilai-nilai di mana mereka pernah dididik. Dalam arti terbatas ini, sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan formal telah gagal menjalankan visi-misinya. Ironisnya, justru kegagalan inilah membedakannya dari pendidikan ala Samin .Kita telah mematri pendidikan mengemban misi penyadaran (conscientitation) atau istilahistilah serupa lain, seperti pemerdekaan dan pemanusiaan. Ini misi dasar mulia. Pendidikan harus membuat orang kian sadar akan jati diri dan asal-usul, dunia dan lingkungan alam-sosial, serta tanggung jawabnya. Pendek kata, pendidikan dimaksudkan membawa orang pada kesadaran insani.Sejauh ini tujuan pendidikan kita ada karena tuntutan normatif sosial. Ia tidak tumbuh bersemai dalam diri insan peserta didik, menjadi bagian tujuan hidupnya. Proses pendidikan kita tidak membuat peserta didik memahami ideal di balik tujuan pendidikan.
Tujuan dicapai demi tujuan itu sendiri, sehingga kesediaan berkorban dalam perjuangan mendekati ideal amatlah kecil, karena jiwa mereka yang terdidik tidak disatukan dengan tujuan pendidikan itu. Di sinilah letak pentingnya ideologisasi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menjadi target sekaligus semangat praksis pendidikan. Pencapaiannya bersifat imperatif dan dilakukan dengan semacam drilling tujuan, sebagai semangat ideologis yang harus diwujudkan. Ini perkara metodologi, agar praksis pendidikan tidak dipisahkan-tidak dialienasikan-dari tujuan pendidikan sendiri
C. Hak belajar , atau Wajib Belajar ?
Jika diamati dengan saksama, gagasan wajib belajar merupakan suatu absurditas atau kontradiksi. Pertama, proses belajar tidak mungkin pernah berjalan efektif jika ada suatu pemaksaan pada diri pembelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pembelajar menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa dorongan atau keinginan belajar dari diri sendiri merupakan unsur utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses belajar yang dipaksakan tidak akan pernah sustained atau bertahan.

Kedua, wajib belajar tampaknya telah rancu dengan wajib bersekolah. Wajib bersekolah memang mudah sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke sekolah pada saat jam sekolah jelas menyalahi wajib bersekolah. Sangat jelas dan mudah menentukan seseorang melanggar wajib bersekolah atau tidak. Namun, bagaimana dengan wajib belajar? Pada sisi yang lain, kita perlu mencatat bahwa seseorang yang bersekolah belum dapat diartikan sedang belajar.
Jika belajar merupakan suatu kewajiban, indikator apa yang menentukan seseorang lalai belajar atau tidak? Bagaimana pula operasi pelaksanaan pengamatannya nanti? Betapa sulitnya mengukur apakah seseorang sedang belajar? Seorang anak yang bermain di pematang sawah atau tepi pantai mencari ikan apakah sedang tidak belajar? Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar? Seseorang anak berumur 10 tahun yang sedang melamun di bawah pohon pada pinggiran sungai pada pukul 08.00, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang, kewajiban bersekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau dia ditanya, dia mungkin menjawab bahwa dia sedang belajar berpikir. Nah, lalu, bagaimana pula kita dapat menyangkalnya? Nah . Serba bingung serba rancu serba berebut menjadi dicision maker di dunia pendidikan .
Atau nanti jangan-jangan ketika menteri pendidikan di resuffle oleh persidennya ganti pula kebijaksanaan dan kurikulumnya dengan dalil menyempurnakaan Kebijaksanaan . Ironis rakyat lagi yang kena harus beli buku , beli seragam , beli perlengkapan untuk kurikulum yang baru.

Apa itu yang namanya Sibuk membingungkan diri sendiri?
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa wajib belajar merupakan suatu gagasan yang kontradiktif sekaligus sangat tidak operasional.
JIKA kita ingin menerapkan gagasan student centeredness, kita harus memberikan tanggung jawab belajar pada siswa. Tentunya ini tidak berarti bahwa kita boleh membiarkan anak atau murid kita tidak belajar. Justru sebaliknya, kita-guru dan orangtua-perlu menyadarkan atau mencerahkan anak-anak akan pentingnya belajar bagi kehidupan mereka. Kita perlu terusmenerus menyadarkan anak-anak atas hak belajarnya. Keluarga perlu senantiasa berupaya menyuburkan bertumbuh kembangnya motivasi belajar anak-anak. Kendati demikian, yang paling utama menentukan terjadi atau tidaknya proses belajar adalah siswa sendiri. Kita, orangtua maupun guru, bukan pelaku utama dalam proses belajar anakanak kita.

Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subyek dalam proses pendidikan, maka mengembalikan tanggung jawab belajar pada siswa merupakan suatu aktualisasi dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa melalui proses belajar.Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna belajar sebagai hak setiap insan untuk mengembangkan dirinya. Jadi, akan lebih tepat jika pemerintah pusat beserta pemerintah daerah wajib menyediakan program sekolah sembilan tahun yang terjangkau atau, jika mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk memanfaatkan penyediaan program pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk belajar dalam program yang disediakan pemerintah. Jangan sampai terjadi kebalikannya, yakni rakyat berkewajiban belajar sembilan tahun dan negara berhak menyediakan pendidikan bagi rakyatnya. Kalaulah hal itu terjadi maka Bisa di katakan seperti Bagong yang jadi raja Vs mbilung yang keblinger . Konyol dan sangat tidak habis di pikir jadinya.
Belajar merupakan kegiatan yang dapat berjalan efektif melalui institusi formal seperti sekolah maupun tak formal. Seorang anak belajar tidak hanya di dalam kelas sewaktu berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada saat dia bermain dengan temannya atau pada saat bekerja membantu orangtuanya menjahit, misalnya. Prinsip bahwa belajar tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan pendidikan nasional. Namun, jika kita melihat kegiatan warga negara melalui kacamata kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib belajar cocok dengan nuansa instruksi atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya warga negara tidak mau belajar jika tidak diwajibkan atau rakyat masih tidak tahu bahwa belajar itu perlu maka perlu di perintah Namun, jika kita ingin memosisikan setiap warga negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar bangsa, maka hak belajar akan jauh lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar karena rakyatlah yang akhirnya akan memilih sejauh mana kebijaksanaan yang tepat bagi mereka , bukan pemerintah.
D. Kenapa kita bersekolah ?

Pertanyaan saya diatas adalah sangat mendasar kenapa Kita Bersekolah? Hal diatas tentunya Lebih Mengacu pada mengapa kita bersekolah dalam artian dan Konteks untuk bisa baca tulis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa atau bersekolah untuk sebagai gengsi belaka bahwa di sebut kaum Intelektual ? yang notabene Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi .

Ada beberapa hal yang membuat saya trenyuh dan prihatin dengan Kondisi yang di hadapi Kita semua sebagai bagian kecil bangsa Indonesia . Hal tersebut yang menggugah saya untuk sadar tidak hanya mementingkan Bisnis semata.
1.      Sekolah menciptakan Orang Pandai atau Orang yang bijaksana ?
Jika pertanyaan itu di lemparkan ke saya maka jawaban yang akan saya keluarkan adalah Bagaimana Seorang yang bersekolah mengenal karekteristik dirinya sendiri. Tidak bisa di pungkiri bahwa yang namanya sebuah pendidikan sangat komunal , akan tetapi komunal yang bagaimana untuk bisa mencapai tahapan yang di inginkan ? Masih ingat di kepalaku bagaimana seorang Murid SLTA yang memiliki rangking 1 justru tidak diterima dalam ujian Pegawai Negeri Sipil, padahal sekolah itu telah menciptakan orang pandai seperti anak tersebut hingga mendapatkan rangking 1 hingga semua institusi sekolah menggangapnya sebagai tolak ukur sebagai siswa yang pandai. Tapi ketika berebut mendaftar sebagai CPNS justru tidak ada prioritas sama sekali untuk mendapatkan sebuah dispensasi untuk diterima , justru Anak yang tidak bisa apa-apa dalam artian tidak memiliki Rangking mendapatkan tempat yang sangat layak di pemerintahaan karena (Kekrabatan} di lingkungannya . Sekali lagi Bangsa ini sudah sangat tidak mengenal Bahasa symbol sehingga para pemegang kebijaksanaan negeri ini sibuk dengan tokoh Mbilungnya mereka yang bersikap Samin terhadap rakyatnya sendiri

Dengan kejadian diatas bahwa anak yang pandai tidak mendapatkan tempat di pemerintahaan atau pegawai negeri atau pegawai instasi lainnya menandakan bahwa anak yang Pandai sekalipun tidak akan mendapatkan jaminan sebuah pekerjaan yang layak sesuai dengan prestasinya. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi Sekolah menciptakan Orang pandai atau orang yang bijaksana ? Lantas buat apa kita sekolah kalau sekolah tidak ada Sebuah pengharapan yang di kejar , dalam artian percuma wajib belajar karena ketika belajar dengan seksama dengan sungguh sungguh menjadikan kita mendapatkan rangking terus tidak mendapatkan sebuah penghargaan terhadap prestasi yang kita buat ? Konyol bukan ?
Kalau kita menilik lebih jauh sebenarnya yang namanya Sekolah dasar sampai dengan Sekolah Menengah Umum kan milik pemerintah (Daerah) kenapa harus susah-susah mencari pegawai negeri sipil dengan membuka pendaftaran di CPNS , kenapa tidak mensyaratkan YANG BISA MENDAFTAR JADI CPNS ADALAH ANAK YANG MEMILIKI RANGKING 1-15 Di SETIAP SEKOLAHNYA . Coba kita bayangkan jika itu disyaratkan maka dengan susah payah pasti anak akan belajar dengan tekun dengan giat dan rajin untuk mengejar bagaimana mendapatkan rangking sehingga mendapatkan seterang harapan setelah lulus nantinya.
Ketika penerimaan dan tes pegawai jika ada anak yang tidak diterima itu menjadikan Warning bagi sekolah yang bersangkutan untuk memacu pendidikannya lebih kencang lagi untuk mengejar ketertinggalannya. Ironis memang masyarakat masih menganggap PNS adalah tujuan hidup untuk mengubah nasib, karena keterjaminan masa tua, keterjaminan pekerjaan keterjaminan Harkat dan martabat disebut priyayi . padahal rebutan jadi PNS adalah peninggalan Kolonial belanda dalam menciptakan Stagnasi perbedaan di masyarakat pada jaman itu dimana orang /kaum terpelajar dijadikan pegawai pemerintahaan kerajaan belanda dan di sejajarkan dengan mereka.

Lantas dengan demikian dogma pemikiran masyarakat berbelok arah untuk menjadi pegawai negeri sipil. Apa mereka enggak melihat dengan seksama bagaimana Beban berat pemerintah untuk membiayai aparatur negara yang mulai Terbebani aparaturnya , dengan kinerja rendah tetapi masih menggaji , itu menandakan Cost yang berlebihan. Dan apa mereka juga tidak berfikir sekarang ini untuk biaya pegawainya daerah dituntut mandiri , sehingga dengan demikian jika tidak ada anggaran untuk itu akan menjadikan Beban Hutang ? Konyol , gila dan tidak masuk akal. Lantas buat apa sekolah jika negara saja tidak memberikan sebuah penghargaan atas prestasi anak-anak yang pandai.

Belum lagi bangunan sekolah yang rusak berat lantaran salah dalam penerapan pembangunan ,setingkat sekolah dasar Inpres saja sudah hancur dindingnya , lantas bagaimana dulu perencanaan pembangunannya ? serius untuk membangun atau jangan-jangan Kontraktor pelaksananya Justru berusahaa Mentogogkan Diri atas semua kondisi yang di lakukan dahulu , dengan demikian apa tidak semakin parah yah.

2. Kenapa mahal bersekolah di Indonesia ?
Di negara-negara maju pendidikan sudah dipahami sebagai industri jasa yang sangat prospektif. Sebab itu, investor pun mulai banyak yang secara terbuka berhasrat menanamkan modalnya untuk bisnis pendidikan. Bahkan, di Australia pendidikan sudah merupakan sumber devisa nomor tiga dan diharapkan meningkat menjadi nomor dua beberapa tahun mendatang. Di Indonesia , jangankan pendidikan mau ke wc saja mahalnya minta ampun , dengan alasan BBM naik lah , biaya kehidupan bertambah lah dll , sehingga menjadikan Semuanya serba uang . Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia di picu dan dikarenakan pemerintah yang menganggap enteng dunia pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendapatan negara nya hanya 2 %, meskipun sudah di paksakan 20 % untuk tahun ini tetap terlambat, anak anak tetap di tarik biaya untuk sekolah dengan berbagai alasanlah. Imbas dari hal itu Buku-buku cetak yang seharusnya setiap pak menteri berkuasa hendaknya di sempurnakan, bukan ganti pak menteri ganti pula Kebijaksanaan yang menjadi motor penggeraknya lantas bagaimana Kondisi tersebut akan terata dengan baik jika setiap 5 tahun Orang yang merasa Pintar di Pusdik Diknas merasa perlu mengganti kebijaksanaan terkait dengan politisasi?.

Di sini pendidikan belum terarah dengan baik , masih jalan di tempat , mereka masih jadi slogan Asal Lulus , Asal dapat gelar , Asal sudah sekolah. Lantas buat apa ? menambah angkatan pengangguran Intelektual lagi ujung ujungnya pemerintah juga yang pusing menciptakan lapangan kerja. Bagaimana mau menciptakan lapangan kerja kalau pemerintahaannya masih berebut Hegemoni I'm the hero, saya yanag terbaik, saya yang berkuasa. Konyol bukan ? Lebih konyol lagi investor pada lari dari bumi Indonesia karena hegemoni tersebut , contoh singatnya Kenapa Sony Corpporation lebih senang memindahkan Core bisnisnya ke Vietnam ? Karena di sana Biaya serba murah termasuk tenaga kerja yang masih murah , di Indonesia ? Mahal pekerjanya masih suka demo dan bertingkah . lulusan sarjananya belum mengerti dunia kerja 100 % karena memang tidak di persiapkan dengan matang. Sangat konyol sekali apa yang dilakukan penguasa dan aparaturnya , lebih lebih pendidikan nasionalnya .

Di eropa pendidikan adalah Sebuah jendela bathin seseorang untuk melihat kemana arah tujuan hidupnnya ? Mereka berkreasi dengan arahan dari Pusat litbang setempat untuk menemukan , meneliti , dan menggali masalah dengan baik. 10 tahun kedepan jika hal di atas tidak di atasi akan menjadikan Ambruk pondasi negara kita sebenarnya mahalnya pendidikan Indonesia bisa di atasi jika Pengusahaa besar yang bergabung dalam konglomerasi menyisihkan 20 % pendapatannya untuk mengabdikan di jalur pendidikan , namun itu pun tidak di lakukan sehingga masih mengantungkan harapan besar ke pemerintah Indonesia sebagai pelaksana.

3. Ramai-ramai Kuliah, Ramai-ramai Cari Kerja
Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi PT untuk menjaring calon mahasiswa sama gencarnya dengan peningkatan pengangguran lulusan.

Beberapa PT memberikan keringanan biaya, tetapi PT-PT dengan nama besar memasang biaya masuk puluhan juta rupiah, yang justru dimaknai tanda kebesaran dan mutu PT bersangkutan.

Maka, para calon mahasiswa ramai-ramai mendaftar kuliah, PT-PT menerima mereka dengan sukacita, tetapi para pelaku pasar kerja bersiap-siap menolaknya setelah lulus karena para sarjana tersebut dinilai tidak memiliki cukup kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja. Dalam pandangan saya, pengangguran lulusan dan tidak nyambung-nya PT dengan dunia kerja dimulai dari seleksi penerimaan mahasiswa baru. Akibatnya, seleksi masuk ke sebuah PT semakin lebih ditentukan oleh kemampuan calon mahasiswa membeli daripada kemampuan intelektualnya. Karena itu, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru perlu dibenahi.

Sistem passing grade yang mengandalkan skor rerata ujian masuk sama tidak memadainya dengan sistem kuota, yang bergantung pada jumlah kursi yang tersedia di suatu prodi PT. Gabungan sistem passing grade dan sistem kuota mungkin baik, namun tetap belum menjamin mutu mahasiswa yang diterima.

Di Jerman dan Belanda proses seleksi ke PT telah dimulai dengan penjenjangan di tingkat sekolah menengah. Saat pendaftaran ke PT, penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan model gabungan sistem passing grade, kuota dan tes kompetensi dasar logika bahasa dan logika matematika.

Untuk program tertentu, seperti kedokteran, berlaku seleksi numerus klausus yang sangat ketat. Hanya 10 persen terpandai lulusan SLTA di tingkat nasional boleh mendaftar. Jika setelah tes jumlah 10 persen itu masih melebihi kuota, maka diberlakukan lotre. Karena ketatnya numerus klausus, maka pernah terjadi seorang dokter Indonesia dengan 12 tahun pengalaman berpraktik di Papua diharuskan menempuh program persamaan selama dua tahun sebelum diterima dalam program spesialisasi di Belanda.

Mengingat sekolah menengah di Indonesia hanya dua macam, proses seleksi calon mahasiswa ke PT di Indonesia belum dapat dilakukan mulai jenjang pendidikan menengah. Karena itu perlu model seleksi lain.Ujian menulis/mengarang dan wawancara kiranya dapat diterapkan untuk meningkatkan daya seleksi gabungan sistem passing grade dan kuota. Dari ujian menulis/mengarang dapat diketahui otentisitas, kemampuan mengembangkan dan mengorganisasikan ide serta penguasaan bahasa yang merupakan dasar sikap kritis dan daya analitis.Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang isyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan PT? Ini tidak mudah dijawab. Studi-studi di Inggris dan Skotlandia dalam dekade 1960-1970 (Hunter, 1981), berbagai seminar di Belanda dalam dekade 1980 (Weert, 1989) dan sebuah studi kasus di Australia di tahun 1990-an (Hart, Bowder, and Watters, 1999) ditujukan untuk mencari jawaban dari para pencari tenaga kerja atas pertanyaan tersebut.Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik.

Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa vokasional atau spesialistik mereka mengharapkan suatu prodi di PT. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola PT daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja.Dalam sebuah survei tahun 2001, mengajukan pertanyaan yang sama kepada para pencari tenaga kerja pada sektor pendidikan, medis, hukum, perbankan, dan pertambangan di Yogyakarta, Jakarta, dan Palembang. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja di ketiga kota di Indonesia itu dalam hal kualifikasi lulusan PT yang mereka syaratkan.Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dan dalam praktik, kualifikasi yang dinyatakan sebagai paling dicari oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang paling menentukan diterima/tidaknya seorang lulusan PT dalam suatu pekerjaan.

Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab,dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan.Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting,paling dicari, ataupun paling menentukan.

Di sisi lain, reputasi institusi PT yang antara lain diukur dengan status akreditasi prodi sama sekali tidak masuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan PT oleh para pencari tenaga kerja. Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja mengabaikan bidang studi lulusan PT. Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima/tidaknya seorang lulusan PT. Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan pengelola PT untuk mengatasi tidak nyambung-nya PT dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut.

Untuk itu semua, kerjasama PT dan dunia kerja adalah perlu.Yang lebih konyol dari itu semua adalah parody perguruan tinggi yang berlomba lomba menjaring lulusan Sekolah menengah umum / Atas untuk masuk ke perguruan tingginya. Yang membuat saya trenyuh dan sangat tidak habis pikir adalah sudah tahu perguruan Tinggi tidak layak secara operasional karena fasilitas kurang memenuhi masih menerima lulusan SLTA/U selayaknya sebuah bisnis yang penting Untung. Atau jangan jangan ini kah bisnis PT untuk mendapatkan keuntungan dengan mengkesampingkan misi mulia sebagai institusi pendidikan ?

Lulusan perguruan tinggi yang dihasilkan di Indonesia _+ 250.000-350.000 orang pertahun. Dari jumlah itu, sekitar 90.000 yang terserap ke sektor formal dan sisanya menganggur atau bekerja di sektor informal.Hal itu, jelas, menandakan bahwa semakin banyak sarjana justru tidak mengindikasikan negara semakin makmur.

Justru sebaliknya, semakin banyak sarjana, semakin tinggi pula tingkat pengangguran. Para sarjana itu bekerja di sektor informal bukan karena keinginan mereka, namun karena keadaan yang memaksa dan keterbatasan lapangan kerja. Kualitas perguruan tinggi di Indonesia juga semakin menurun dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Ini dapat dilihat dari peringkat perguruan tinggi Indonesia yang semakin anjlok setiap tahun. dari 50 perguruan tinggi di Asia, Institut Teknologi Bandung (ITB) menempati peringkat 21, tahun 2004. Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada termasuk di urutan belakang. Institut Pertanian Bogor malah tidak masuk peringkat. Ini ironis. Padahal, agrobisnis merupakan bidang yang paling banyak menyangkut hajat hidup penduduk kita lulusan perguruan tinggi di Indonesia bukan merupakan tenaga siap pakai, tetapi siap tahu. Kondisi ini membuat sarjana harus mendapat pelatihan lagi, idealnya tiga bulan, sebelum masuk ke dunia kerja.

Ironis bukan ? sangat menyedihkan bagiamana Anak anak bangsa kita harus menelan pil pahit yang tidak seharusnya di telan mereka saat ini , tetapi apa boleh buat pemerintah telah menggiring Nuansanya ke arah jurang yang salah , ibarat Lokomotif maka Masinisnya telah menjatuhkan kereta beserta gerbongnya jatuh tersungkur ke dalam jurang yang lebih dalam.

APAKAH DENGAN BEGITU MASIHKAH BANGGAKAH MENYANDANG GELAR SARJANA ? Baik S-1 - Doktor ? bahkan professor ? sedangkan lulusan yang diciptakan tidak siap pakai tidak siap kerja tidak tahu apa yang harus dilakukan dan terpaksa karena Kuliah , karena di terimanya di sana yah harus di sana.Lantas dengan sarjana yang didapatkan apa sudah bisa membahagiakan anda ? sebuah pertanyaan dasar yang harus di jawab setiap Insan yang ada di dunia Pendidikan apakah itu yang di cari Gelar tanpa pekerjaan yang layak ?

Coba kalau semuanya berlaku seperti orang SAMIN , tidak ada rasa malu untuk mengakui kesalahaanya , kekurangannya dan kejujurannya Tidak ada Arogansi , idealisme untuk menjadi yang terdepan karena Lulusan Perguruan Tinggi ternama di Indonesia. Dalam kamus bisnis saya Lulusan tinggi manapun tidak akan siap pakai, bahkan jika di bandingkan dengan anak lulusan SD otodidak yang bersifat samin Mungkin saya akan membayar Jutaan dolar untuk gajinya karena sudah pasti tidak ambivalen dalam memimpin.

Asumsi orang di Indonesia masih beranggapan bahwa yang namanya Sarjana sudah ahli di bidangnya , Justru saya katakan Keblinger karena belum tentu yang di kuasai adalah hal yang benar benar Cumlade di bidangnya. Gelar dan Lulusan tidak ada dalam kamus perusahaan saya, karena Perusahaan saya mencetak Sarjana tanpa Title dan gelar. Biar tidak di akui yang jelas kenyataan memang mengatakan dia layak mengapa tidak di sebut Sarjana? sekali lagi Kembali ke Idiealisme Manusia yang duduk di pendidikan tidak bisa bersikap samin untuk mengatakan baiknya. Masih bangga dengan Gelar yang di sandangnya padahal Kesarjanaan yang di sandang belum tentu bisa mendapatkan sebuah jawaban Kenapa Kita bersekolah sampai Perguruan tinggi jika di perguruan tinggi ternyata mencetak pengangguran Intelektual?.

UNIVERSITAS

Seharusnya yang namanya Universitas adalah sebuah lembaga dimana didalamnya terdapat lembaga institusi gelar dan sertifikasi sarjana dan tempat mencetak sarjana harus mampu menyerap pasar dan keinginan pasar untuk bersaing. Kelemahan Universitas di Indonesia adalah :

1. Masih rancunya Lembaga Riset yang dimiliki BBPT , LIPI dan Lembaga Riset Departement dengan Lembaga Riset Universitas . Menurut saya pribadi Harusnya BBPT atau LIPI di hilangkan dalam artian tenaga Tenaga Risetnya di ganti dari Dosen / tenaga pengajar dari Universitas sehingga hasil riset tersebut tidak hanya untuk di Tumpuk dalam perpustakaan saja tetapi sangat Implikatif dengan pengajaran dimana Studi pengajaran mahasiswa berkembang dengan sendirinya dari riset tersebut , bukannya Dosen di suruh Kompetensi cari Dana Riset . Sehingga dengan demikian tidak ada lagi cerita Dosen Mengacu pada satu Buku mata kuliah saja dimana referensi tahun tahun lama melainkan referensi berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dosen tersebut. hal itu memungkinkan Lulusan Universitas dan perguruan tinggi Kompetitif sekali.

2.Dengan Hilangnya BPPT/LIPI di ganti menjadi Dewan Riset nasional dengan tenaga riset seluruh Dosen dari universitas dan perguruan tinggi sehingga yang namanya Kurikulum Perguruan tinggi tidak Statis tetapi berdasarkan Metode pengembangan riset tersebut.

3.Masih di perbolehkannya PTN/PTS yang tidak berkualitas secara operasional dan masih rancunya kurikulum di universitas yang Tumpang tindih sehingga menjadikan Dunia pendidikan jauh dari dunia kerja.

Tidak ada yang tidak mungkin untuk di lakukan jika kita bisa, Pendidikan adalah cara mudah dalam regenerasi sebuah kaum , maka untuk melanjutkan komunitas konsep pendidikan ini di butuhkan pendidikan ala orang samin yang lugu ,polos dan membaca kenyataan apa adanya.



Revolusi di Dunia Pendidikan Indonesia


KRISIS multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Dan yang paling merisaukan SDM kita sering bertindak tanpa moralitas.

Menurut IMD (2000) Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal Singapura berada pada posisi no.2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saing ditentukan oleh mutu SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44.

Penelitian lain mengungkapkan, produktivitas SDM Indonesia rendah, karena kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Di samping itu, semua kita harus malu karena banyak pusat kajian menggolongkan Indonesia pada kelas amat wahid dalam hal korupsi. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan kebohongan, ketidakjujuran, bahkan dengan ketidakadilan dan pemerasan. Semua itu tanda-tanda kemerosotan bahkan kebejatan moral.

Tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Karena kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya media massa. Namun, tetap benar institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan. Oleh sebab itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan.

Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikan paham dan nilai yang ada, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.

Belajar untuk Apa?

Pada tempat pertama semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Kita belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi untuk hidup (sed vitae discimus). Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengubah sama sekali adagium kuno ini. Kita belajar bukan untuk hidup melainkan untuk sekolah. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus. Sekolah menentukan metode belajar-mengajar. Sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan, wisuda sampai dengan pakaian (bahkan sepatu) seragam. Sekolah menentukan uang pangkal, uang sekolah, sumbangan ini dan itu.

Masyarakat mengikuti apa yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat semuanya itu, ditinjau dari segi pencapaian tujuan pendidikan. Banyak hal yang ditentukan sekolah merupakan ritus hampa (Ivan Illich), yang sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan.

Ambillah sebagai contoh mata ajaran Pendidikan Agama (dapat ditambah dengan P4 dahulu dan Budi Pekerti). Dua jam per pekan, sekian puluh jam per tahun, sekian ratus jam per jenjang sekolah. Tetapi hasilnya? Mengecewakan!

Kita memperoleh sekian banyak orang yang menghapal dan mungkin juga memahami ajaran dan tradisi keagamaannya, tetapi sama sekali tidak menjalankannya di dalam hidupnya. Padahal tujuan pendidikan agama bukannya penumpukan pengetahuan tentang agama melainkan pembinaan sikap dan perilaku seorang beriman sejati. Tujuan ini dapat tercapai tanpa menjejalkan sekian banyak pengetahuan ke dalam benak (atau bahkan ingatan!) murid.

Berkaitan dengan tujuan pendidikan paradigma lama terlalu abstrak dan kurang "operasional". Ia harus lebih dikonkritkan. Tujuan pendidikan adalah kepribadian mandiri, yang mampu menata kehidupan dan penghidupannya di dalam sikon hidup konkrit dan kontemporer. Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diperoleh karena murid menguasai satu atau satu jenis pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Dengan demikian ia dapat memasuki pasar kerja atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Menguasai satu/satu jenis pekerjaan merupakan tujuan penting yang tidak boleh diabaikan.

Sistem pendidikan memang tidak berkewajiban mencari atau memberikan lapangan kerja kepada murid.

Akan tetapi ia berkewajiban mempersiapkan murid untuk memasuki lapangan kerja tertentu atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri.

Keterkaitan antara pasar kerja dan pendidikan merupakan masalah besar yang harus ditanggapi secara serius. Tiap hari koran-koran menawarkan berbagai lapangan kerja. Tetapi para pelamar "mundur teratur", karena merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dituntut. Sekolah sama sekali tidak menyiapkan mereka untuk itu. Sekolah tidak merasa perlu mendidik orang yang fasih berbahasa Inggris, padahal banyak iklan menuntut: fluent in English. Masyarakat modern membutuhkan orang-orang yang melek komputer.

Sekolah merasa sudah puas dengan manusia melek huruf, penguasaan komputer menjadi urusan "kursus-kursus". Sebaliknya ada hal-hal yang tidak perlu, tetapi karena masih tercantum dalam kurikulum tetap diajarkan. Akademi Sekretaris misalnya masih sangat mengutamakan penguasaan Steno Karundeng, padahal alat perekam sudah menggeser kedudukan Steno. Semua itu menunjukkan bahwa paradigma lama: pendidikan sebagai penyalur dan pengawet kebudayaan sangat diperhatikan, sedangkan paradigma pendidikan sebagai agen perubahan dan modernisasi, diabaikan.

Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diterapkan bukan di wilayah tak bertuan, melainkan di dalam sikon konkret di Indonesia. Sikon itu tidak sama dan tidak seragam dari Sabang sampai Merauke. Ada keanekaan tantangan situasi hidup konkrit di wilayah Indonesia yang begitu luas dan bervariasi. Tiap wilayah/daerah memiliki ciri khas. Ciri itu dapat dikaitkan dengan keadaan geografis dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada wilayah agraris lahan kering, ada wilayah agraris lahan basah; ada wilayah maritim dengan berbagai kekayaannya; ada wilayah industri ringan/berat, industri pariwisata dan lain-lain.

Selain keanekaan wilayah ada lagi variasi besar kemajuan yang telah diraih tiap wilayah. Ada wilayah yang baru keluar dari zaman batu atau pola hidup normal dengan ekonomi barter; ada yang sudah di tengah budaya industri bahkan pascaindustri. Dan di mana-mana sudah terasa trend globalisasi dengan pengaruh iptek dan teknologi. Situasi yang berbeda-beda mengakibatkan tuntutan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.

Sebab itu harus dikembangkan variasi yang seluas-luasnya di dalam penataan pendidikan dan pengajaran. Ada variasi kurikulum, variasi metode mengajar-belajar, variasi jenis sekolah dengan variasi pengetahuan dan keterampilan yang dialihkan. Di samping itu, semua harus diperhatikan juga tuntutan globalisasi dengan trend iptek yang makin mendunia. Ini semua mewajibkan kita meninggalkan paradigma pola tunggal dan uniform.

Kebhinekaan

Kita wajib mengusahakan kebhinekaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda. Untuk menghadapi tantangan yang berbeda-beda demikian pula trend masa depan, wajib dibuat semacam analisis swot, sehingga kita mendapat peta keada- an yang cukup realistik. Berdasarkan analisis itu dibuat rencana induk pendidikan seluruh bangsa dan tiap wilayah.

Temuan peneliti Harvard pada awal dasawarsa 80-an wajib dicermati. Penelitian longitudinal Howard Gardner cs menemukan bahwa keberhasilan seseorang di dalam hidup bukan ditentukan oleh IQ tetapi terlebih oleh EQ, kecerdasan emosional dengan kompetisi inter- dan intrapersonal. Di samping EQ ada lagi kecerdasan lain yang berperan seperti SQ dan AQ.

Kalau dunia pendidikan ingin membantu murid menata kehidupan dan penghidupan dengan berhasil, maka mata ajaran/pelatihan, proses pembelajaran dan interaksi di sekolah harus melowongkan waktu yang lebih banyak bagi pengembangan potensi-potensi lain di luar IQ. Sekarang ini semua diarahkan kepada pengembangan kemampuan intelektual/akademis. Kemampuan lain kurang diperhatikan. Paradigma akademis harus didampingi dengan paradigma keterampilan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat.

Kecerdasan intelektual juga tidak boleh direndahkan menjadi kemampuan merekam dengan ingatan (seperti yang lazim terjadi sekarang ini), dan juga tidak boleh terbatas hanya kepada kemampuan berpikir logis perseptif, dan logis konvergen. Harus diberdayakan kemampuan berpikir kritis, divergen, kreatif dan inovatif. Hanya manusia Indonesia yang kritis dan kreatif dapat menghasilkan inovasi di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa.

Kurikulum yang begitu padat masih menghantui para guru di sekolah-sekolah kita. Sejak beberapa waktu lalu sudah mulai diadakan perampingan kurikulum, dan belakangan ini orang berbicara tentang kompetisi dasar. Kita harus mengubah paradigma penumpukan materi dengan paradigma pemberdayaan potensi peserta didik. Sejalan dengan itu metode "sekolah dengar" harus diganti dengan metode sekolah aktif yang mengutamakan swakarsa dan swakarya murid.

Yang penting bukannya menjejalkan sebanyak mungkin materi ke dalam benak murid, melainkan memicu murid menggunakan potensi-potensinya, sehingga potensi itu berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan potensi jauh lebih penting daripada pencekokan materi. Untuk itu materi diciutkan, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melatih, memberdayakan potensi.

Kompetisi yang paling dasar adalah kemampuan belajar sendiri. Oleh sebab itu sebelum diajarkan berbagai ilmu, diajarkan lebih dulu cara belajar sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pembelajaran yang disebut pola proses. Pola proses mengutamakan peserta didik sendiri memanfaatkan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghadapi sesuatu.

Tidak terlalu bermanfaat menerima dan menabung sejumlah pengetahuan yang disajikan "satu arah" dari pihak guru. Yang lebih penting adalah mendorong murid dengan bahan yang terseleksi untuk mengerjakan sesuatu dengan potensinya. Pola penyajian bahan jadi yang tuntas harus diganti dengan pola pelontaran dan penyelesaian masalah (problem posing, problem solving). Satu masalah yang dekat dengan hidup diangkat dan dipelajari serta dicarikan penyelesaiannya oleh para murid baik sendiri-sendiri maupun dalam kerjasama kelompok. Daya serap tidak lagi menjadi tuntutan utama. Daya tanggap peserta didik dan keterampilannya untuk menghadapi sesuatu harus menjadi fokus proses pembelajaran.

Kunci Utama

Mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya tenaga pengajar. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia seperti dilaporkan dalam Musyawarah Nasional LPTK di Bandung (1994) menunjukkan bahwa selama hampir dua dasawarsa terakhir, yang "memilih" masuk IKIP/LPTK bukannya kelompok top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU, dengan perbedaan skor yang sangat signifikan antara pelamar. Universitas dan pelamar IKIP/LPTK. Itu berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan.

Dapatkah kita membulatkan tekad untuk menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi pendidik dan pengajar? Kalau begitu harus ada pula kebijakan yang meningkatkan pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.

Kecuali itu harus ada kebijakan yang jelas mengenai pendidikan guru. Kebijakan sekitar IKIP/LPTK yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa kita tidak memiliki arah yang jelas. Bagaimanapun dari seorang pengajar dan pendidik dituntut: penguasaan materi ajaran, dan penguasaan pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan/pengajaran. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan guru harus mengupayakan kedua hal ini secara imbang.

Mengingat tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama. Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian. Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.

Akhirnya revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya. Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang diperhatikan.

Semua diserahkan kepada negara dan pejabatnya. Penentuan kebijakan oleh Negara lebih memperhatikan aspek-aspek politis-administratif daripada aspek pedagogis, psikologis dan metodologis. Penyelenggara dan pengelola pendidikan yang umumnya terhimpun dalam Yayasan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk berprakarsa dan mengupayakan pendidikan yang paling sesuai dengan tuntutan zaman.

Negara menggoreskan kebijakan dan petunjuk umum, yang merupakan rambu-rambu penjamin hak-hak warga sehubungan dengan pendidikan. Di luar itu segala sesuatu diserahkan kepada kebijakan penyelenggara dan pengelola. Mereka akan menyusun rencana dan strategi untuk menyajikan pendidikan yang paling baik dan paling relevan. Ada cukup banyak penyelenggara dan pengelola yang bermutu dan bertanggung jawab.

Penilaian Masyarakat

Mereka akan melaksanakan tugas mendidik dengan baik dan efisien, apabila tidak terlalu dibatasi oleh ketetapan/keputusan penguasa (politis!). Penyelenggara, pengelola, serta sekolah itu sendiri akan dinilai terus menerus oleh masyarakat berdasarkan mutu tamatannya. Penilaian ini lebih menjamin mutu yang sebenarnya dan bukannya mutu di lembar kertas resmi.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dianjurkan agar diadakan Dewan-dewan pendidikan daerah, sesuai dengan kesamaan kebutuhan/kepentingan. Dewan-dewan akan bermusyawarah sendiri-sendiri pada waktunya dan sesudah itu bersama-sama di tingkat nasional. Yang ditentukan secara nasional dijadikan acuan bersama. Karena yang ditentukan secara nasional turut dipertimbangkan oleh daerah, maka diharapkan agar kebutuhan dan kepentingan daerah sudah terakomodasi. Dengan demikian paradigma top down kita gantikan dengan bottom up.

Dalam waktu dekat Indonesia akan memilih pemimpin nasionalnya. Penulis mengimbau pemimpin terpilih untuk mengambil langkah revolusioner dengan membebaskan jenjang wajib belajar 9 tahun dari segala pungutan biaya. Kebijakan ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas 2003 Pasal 34 Ayat (2) dan (3), dan lebih lagi sesuai dengan amanat Pembukaan UUD yang mewajibkan negara mencerdaskan bangsa. Sekaligus Pemerintah menjadi pelopor penegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena de facto biaya sekolah yang mahal sudah turut memperlebar kesenjangan sosial, dan karena itu turut "menyemarakan" ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial akan terus terjadi apabila masih terjadi diskriminasi, karena kesempatan bersekolah (di sekolah yang bermutu!) tidak diberikan kepada semua. Maklum, melalui pendidikan yang baik manusia diberdayakan untuk memperbaiki nasibnya sendiri




Menuju Masyarakat Edukatif


Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632 – 1704), tokoh empirisme Inggris, meninjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan (Rakhmat, 2004).

Pengalaman sendiri dibentuk melalui pendidikan. Di sini penulis melihat bahwa pengalaman (baca: pendidikan) merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku dan budaya masyarakat di masa depan. Proses pembentukan pendidikan harus melihat realitas yang ada di tengah masyarakat dengan mengedepankan aspek pendidikan agama, sains, dan sosial untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan demokratis. Karena produk pendidikan untuk menghasilkan masyarakat edukatif (secara universal) harus memperhatikan keterampilan hidup (life skill) dan keterampilan sosial (social skill). Kedua hal ini merupakan satu kesatuan untuk menciptakan sebuah perubahan dalam konteks modernisasi berpikir masyarakat yang madani.

Dalam sebuah Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah mengemukakan, pengetahuan lahir saat manusia tumbuh. Dunia modern bahkan bergerak dari proses pengetahuan itu: manusia tak lagi tersihir oleh dunia. Ia menangkap dunia itu, menafsirkannya dan mengubahnya. Hal ini berarti pendidikan merupakan “senjata nuklir” yang dapat mengubah dunia ––mungkin juga menghancurkannya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang secara tidak langsung memanfaatkan pendidikan untuk menguasai pemikiran masyarakat dunia melalui konsep ekonomi, ideologi, dan teknologi. Hal ini sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang yang setakat ini dengan mudah dapat “tersihir” oleh konsep pemikiran yang dihasilkan negara-negara barat.

Realitas Pendidikan Indonesia
Hingga kini masalah pendidikan di Indonesia masih menjadi isu sentral yang selalu dibicarakan semua orang, baik yang bersentuhan langsung dengan urusan pendidikan maupun tidak. Karena ukuran kualitas dan kuantitas dunia pendidikan menjadi cermin kemajuan sebuah peradaban. Kita lihat misalnya negara-negara maju selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas nomor satu dalam pembangunan. Hal ini erat kaitannya dengan budaya riset untuk peningkatan kemajuan teknologi dalam menghadapi persaingan global. Lalu bagaimana dengan negara-negara berkembang? Khususnya Indonesia, hal ini sepertinya masih jauh panggang dari api.

Padahal seperti dilihat pada gambaran Pembangunan Pendidikan yang tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Menghadapi tantangan ini diperlukan konsep pendidikan yang memihak masyarakat, bukan pendidikan berorientasi pada kapitalisme. Masih relatif rendahnya anggaran pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menjadi pemicu utama lambannya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia. Anggapan “orang miskin dilarang sekolah” begitu melekat di tengah masyarakat, karena rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini sangat kontradiktif dengan jargon pemerintah yang katanya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan tersebut, Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita pernah mengemukakan pendapat bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Drs Nurkolis MM dalam artikel “Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang” di homepage Pendidikan Network).

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Pendidikan Riau Masa Depan
Kalau dilihat secara umum pendidikan yang ada di Riau tidak jauh berbeda dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam berbagai seminar dan diskusi seringkali dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan di Riau masih rendah. Dalam seminar dan diskusi yang lain digembar-gemborkan bahwa Riau memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup menjanjikan. Dua kondisi di atas bila dianalogikan sebagai sebuah kutub magnet yang berbeda, seharusnya terjadi hubungan tarik menarik. Namun setakat ini medan magnet tersebut masih relatif lemah. Mengapa?

Idealnya sebuah daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengelola kekayaan alamnya untuk kemakmuran masyarakat. Karena kemajuan suatu daerah lebih banyak ditentukan oleh kualitas SDM sebagai penggerak utama roda pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah ini sudah seharusnya pemerintah setempat melakukan manuver untuk melejitkan kualitas pendidikan agar masyarakat tidak berpikir ortodoks akibat nilai-nilai pengetahuan yang termarjinalkan. Karena salah satu ciri masyarakat dinamis selalu melahirkan inovasi baru dalam melakukan perubahan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.

Dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rektor UIR Profesor Hasan Basri Jumin pernah mengatakan bahwa pengembangan pendidikan di Riau masih sangat lamban. Hal ini disebabkan belum menyatunya gagasan dalam upaya peningkatan pengembangan pendidikan. Seperti halnya Profesor Kinosita di atas, pendidikan dasar sembilan tahun dikatakan Profesor Hasan sebagai pondasi yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pendidikan. Karena ini sangat potensial untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan peningkatan kemampuan hingga perguruan tinggi.

Salah satu wacana yang pernah berkembang untuk mengentaskan permasalahan pendidikan adalah dengan mengimplementasikan konsep pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah. Namun hal ini belum terwujud, karena belum adanya kebijakan politis yang memihak kepada pendidikan. Konsepnya sendiri belum begitu jelas dalam penerapan di lapangan. Kesadaran pemerintah untuk mendongkrak anggaran pendidikan juga belum terlihat mencuat ke permukaan. Sementara keragaman kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masih menjadi kendala. Sebagai contoh tingkat kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya belum tentu sama. Untuk itu perlu adanya persamaan persepsi tentang pentingnya peran pendidikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Dengan ketersediaan SDA yang mencukupi, seharusnya pemerintah mulai meningkatkan anggaran komunikasi strategis untuk memasyarakatkan pendidikan. Berbagai bentuk kampanye dan pendampingan sektor pendidikan yang berkesinambungan merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan pendidikan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah (grassroot). Tujuan pendidikan itu sendiri akan tercapai bila prosesnya komunikatif. Kelompok-kelompok intelektual yang ada di tengah masyarakat perlu dilibatkan dalam komunikasi ini. Bukankah masih banyak sarjana yang belum mendapat lapangan pekerjaan? Tentunya mereka dapat dimanfaatkan oleh pemerintah melalui suatu program yang bertujuan untuk perluasan penyebaran pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian dapat menjembatani kesenjangan tingkat pendidikan masyarakat melalui tranformasi ilmu oleh masyarakat itu sendiri.

Paragidma pembangunan pendidikan yang merata dapat menciptakan masyarakat yang edukatif. Sehingga budaya berpikir kritis, dinamis, humanis dan demokratis menjadi karakter masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Provinsi Riau yang identik dengan kultur budaya masyarakat Melayu memiliki potensi untuk menciptakan kehidupan “masyarakat madani”yang meletakkan pendidikan sebagai pondasi dan tujuan dalam membangun bangsa.***


PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH
Perpustakaan sebagai lembaga penyedia ilmu pengetahuan dan informasi mempunyai peranan yang signifikan terhadap lembaga induk serta masyarakat penggunanya. Demikian halnya di dalam lingkungan pendidikan seperti sekolah. Perpustakaan sekolah merupakan pusat sumber ilmu pengetahuan dan informasi yangberada di sekolah, baik tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah.
Perpustakaan sekolah harus dapat memainkan peran, khususnya dalam membantu siswa untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Untuk tujuan tersebut, perpustakaan sekolah perlu merealisasikan misi dan kebijakannya dalam memajukan masyarakat sekolah dengan mempersiapkan tenaga pustakawan yang memadai, koleksi yang berkualitas serta serangkaian aktifitas layanan yang mendukung suasana pembelajaran yang menarik.
Dengan memaksimalkan perannnya, diharapkan perpustakaan sekolah bisa mencetak siswa untuk senantiasa terbiasa dengan aktifitas membaca, memahami pelajaran, mengerti maksud dari sebuah informasi dan ilmu pengetahuan, serta menghasilkan karya bermutu. Sehingga pada akhirnya prestasi pun relatif mudah untuk diraih.
Dalam membantu siswa untuk menghasilkan karya yang bermutu, perpustakaan tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan sekolah, terutama melalui kebijakan pimpinan (kepala sekolah), akan memperlancar tugas/kebijakan yang akan dijalankan oleh pengelola perpustakaan sekolah.
Tugas perpustakaan dalam memajukan masyarakat sekolah melalui ilmu pengetahuan dan informasi harus diwujudkan secara efektif dan efisien. Masyarakat sekolah yang menjadi sasaran perpustakaan, mulai dari pihak manajemen sekolah, guru, siswa, pihak orang tua, dan segenap warga sekolah yang lain harus menjadi pintar dengan adanya perpustakaan sekolah. Khususnya siswa, yang menjadi obyek dari pada pembelajaran dan pengajaran, harus dikenalkan betapa pentingnya manfaat dari perpustakaan sekolah. Masyarakat sekolah yang sadar dengan kehadiran perpustakaan akan mewujudkan masyarakat yang gemar membaca/reading society. Begitu ironis ketika kita mengamati hasil dari sebuah penelitian yang menunjukkan dari 50 sekolah yang diteliti, ternyata 8 sekolah diantaranya tidak mempunyai perpustakaan. Bagaimana siswa dapat menghasilkan karya dan mengukir prestasi jika di sekolahnya tidak tersedia perpustakaan?
Memang, proses belajar siswa tidak hanya dilakukan di sekolah. Istilah long life education harus tertanam betul dan diaplikasikan dalam kehidupan siswa sehari-hari. Terutama menanamkan akhlak/nilai-nilai yang baik pada siswa. Perpustakaan dapat mengajarkannya tentang rasa tanggungjawab dalam meminjam dan menjaga koleksi dari kerusakan/hilang, membiasakan aktifitas membaca dalam mengisi jam istirahat, serta kebiasaan baik lain yang tercermin dalam tata tertib maupun peraturan perpustakaan. Pihak sekolah berkewajiban mem-backup peraturan yang dikeluarkan oleh perpustakaan. Diharapkan dengan penanaman akhlak/nilai-nilai yang baik ini, siswa dapat lebih bertanggungjawab dalam kehidupan sosialnya, menjadi taat pada orang tua dan bapak ibu guru, serta menjadi warga masyarakat yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Bukankah hal tersebut juga merupakan prestasi bagi siswa?
Karya yang bermutu dan prestasi hanya bisa diraih dengan adanya kemauan dan kebiasaan siswa untuk terus belajar, lewat membaca di perpustakaan sekolah. Kegemaran membaca yang sudah terbudaya di kalangan siswa, harus diimbangi perpustakaan sekolah dengan menyediakan koleksi yang bermutu dan bervariasi. Bukankah untuk menyediakan koleksi tersebut dibutuhkan anggaran dari pihak sekolah yang tidak sedikit? Bukankah idealnya 5 % anggaran sekolah diserahkan untuk pengembangan perpustakaan?
Setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah/digariskan dalam kurikulum harus di backup dengan baik oleh perpustakaan. Siswa yang menerima pelajaran di kelas, harus terus dimotivasi untuk terus belajar mengembangkan ilmunya melalui proses membaca di perpustakaan. Misalnya dengan memberi tugas membaca di perpustakaan, menceritakan kembali serta membuat laporan. Dengan menyediakan fasilitas belajar yang menyenangkan, dan kedekatan pustakawan dengan siswa akan membantu proses kenyamanan belajar di perpustakaan. Hasilnya siswa diharapkan bisa menguasai sekaligus mengembangkan mata pelajaran yang diterimanya di kelas. Pihak manajemen sekolah perlu mendukung kebijakan untuk cinta kepada perpustakaan sekolah. Misalnya saja memberi hadiah kepada siswa yang sering membaca di perpustakaan, serta menghimbau kepada guru untuk memotivasi siswa dalam melengkapi informasi dan pengetahuannya demi menunjang proses pendidikan serta daya serap terhadap mata pelajaran. Siswa yang sudah mempunyai motivasi tinggi untuk belajar, tinggal menunggu waktu saja agar dapat berkarya dan berprestasi.
Untuk mencapai tujuannya, perpustakaan sekolah perlu dikelola oleh pustakawan dengan tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi terhadap layanan. Pustakawan sekolah harus mempunyai jiwa sabar, serta dituntut untuk memahami apa arti pendidikan sesungguhnya.
Perilaku pustakawan sekolah yang bengis, kurang ramah, serta sifat-sifat negative lain perlu dikikis habis. Sehingga siswa dapat lebih dekat dengan pustakawannya, yang merupakan penasihat siswa dalam belajar, serta mencari informasi dan ilmu pengetahuan.
Pustakawan sekolah juga harus bersifat proaktif dan suka menolong. Siswa yang kurang paham bagaimana cara mengakses sebuah koleksi, misalnya saja cara menelusur buku matematika tulisan Djoko Moesono. Pustakawan sekolah harus telaten dalam mengajarkan penelusurannya. Jika siswa mengetahui lewat judulnya, bisa langsung mengetik/mencari lewat judulnya. Atau kalau siswa lebih tahu siapa pengarang buku matematika tersebut, maka bisa dengan mengetik/mencari djoko moesono. Sehingga siswa lebih suka dan terbiasa dengan belajar, karena literatur yang mereka butuhkan untuk menunjang pelajaran, relatif mudah untuk diketemukan.
Siswa yang dekat dengan pustakawannya, akan mahir dalam mencari dan menggunakan informasi dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses penyerapan dan penalaran pelajaran mereka. Siswa yang mudah menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru, merekalah yang mudah pula untuk mengukir prestasi.
Selain membantu siswa dalam mengakses koleksi, pustakawan sekolah harus menyediakan informasi plus dan memberi solusi atas kesulitan siswa dalam belajar. Informasi tambahan yang dibutuhkan siswa, baik itu ilmu pengetahuan dan teknologi baru, atau pun informasi lain seperti lomba karya ilmiah remaja. Informasi yang gress serta teknologi baru akan menarik siswa untuk berduyun-duyun memanfaatkan perpustakaan sebagi pusat sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Dengan informasi dan teknologi terbaru itulah, siswa bisa lebih bisa berkiprah dalam meraih prestasi.
Tidak hanya menyediakan informasi paling gress saja, pustakawan juga harus menyiapkan ruang belajar, ruang diskusi, serta ruang untuk penelitian. Dengan adanya diskusi atau pun penelitian yang dilakukan siswa, berarti ada sinkronisasi antara kegiatan belajar di kelas dengan kegiatan nyata di lingkungan masyarakat sekitar. Atau siswa juga bisa mengembangkan bakat dan minatnya. Situasi bahwa belajar di perpustakaan sekolah dengan meja yang berdebu, terbatasnya meja untuk membaca, dan fasilitas yang sangat minim lainnya, harus diubah. Tidak harus perabot yang mahalmahal, cukup sederhana saja. Pustakawan sekolah dan semua pengguna wajibmemelihara dan membersihkan equipment yang ada. Sehingga tidak ada lagi kesulitan dalam belajar dan mengembangkan pelajaran. Siswa dapat belajar dengan nyaman, dan terus dapat berkarya.
Demi ketertiban dan kenyamanan belajar di perpustakaan, pustakawan sekolah harus pandai-pandai membuat jadual tentang pemakaian ruang diskusi, ruang penelitian, sehingga tidak terjadi benturan antara kelas yang satu dengan kelas yang lain. Jadual tersebut dapat diberitahukan kepada guru kelas atau pun guru bidang studi yang bersangkutan. Dengan pengaturan jadual yang tertib, siswa dapat diajarkan bagaimana mengatur waktu belajarnya dengan baik. Demikain pula saat siswa berada di rumah, kebiasaan untuk bisa mengatur waktu belajar, akan membantu siswa, baik dalam penguasaan pelajaran maupun dalam mengembangkan ilmunya di masyarakat.
Selain fasilitas yang cukup memadai dan waktu yang terjadual dengan baik, pustakawan harus bisa mewujudkan suasana belajar yang menarik bagi siswa. Pustakawan harus mengetahui dan sekaligus memahai teori pendidikan dan kaidah pembelajaran. Inovasi dalam memberikan layanan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan harus terus dikembangkan. Sikap acuh tak acuh terhadap siswa, terutama siswa yang membutuhkan bimbingan di perpustakaan harus dibuang jauh-jauh. Komunikasi positif, baik di kalangan anak-anak (siswa sekolah dasar) maupun remaja (siswa sekolah menengah) harus terus dibangun.
Pustakawan sekolah harus ‘dekat’ dengan masyarakat penggunanya, khususnya siswa. Bagaimana pustakawan sekolah bisa dipercaya sebagai tempat ‘curhat’, baik dalam kesulitan belajar atau pun dalam menambah informasi tentang sumber pengetahuan yang belum diajarkan di kelas. Diharapkan segala permasalahan yang terjadi dalam proses belajar mengajar selama di kelas atau di luar kelas, bisa ditemukan jawabannya. Sehingga siswa merasa nyaman, segala problematikanya dapat dicarikan solusi oleh pustakawan sekolah. Bukankan hal tersebut bisa menjadi motivasi siswa dalam berprestasi ?
Di negara tetangga kita, Malaysia, pustakawan lebih besar perannya dalam ikut melaksanakan penelitian yang dilakukan siswa. Selain menyediakan sumber informasi, pustakawan sekolah juga membantu siswa dalam pembuatan laporan penelitian. Tidak hanya itu, ternyata pustakawan di sana juga bertugas untuk membantu bimbingan siswa dalam mengerjakan tugas rumah maupun tugas di sekolah, jika siswa kurang paham terhadap mata pelajaran yang diajarkan di kelas. Kalau hal di atas bisa diterapkan di negara kita, bisa-bisa tiap hari perpustakaan sekolah akan penuh sesak oleh siswa, baik yang ingin membaca, mencari informasi, atau pun melakukan bimbingan belajar. Dalam suasana belajar yang dengan kondusif, semua pihak akan dapat menghasilkan karya yang maksimal serta prestasi yang dapat membanggakan sekolah.

Pustakawan sekolah merupakan jaminan tercapainya tujuan pendidikan. Karena lewat bimbingannya, masyarakat sekolah, khususnya siswa akan melek informasi, menjadi terbiasa dengan aktifitas membaca, lebih cerdas, dapat menghasilkan karya yang baik, serta memudahkan siswa dalam meraih prestasi, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Pustakawan sekolah harus mahir dalam mengolah dan menata koleksi perpustakaan dengan baik. Sehingga saat koleksi dibutuhkan pengguna, sudah siap tersaji di rak sesuai kode buku/call number. Karena sebagian besar koleksi perpustakaan sekolah berupa buku penunjang kurikulum, maka mutu dari buku-buku itu harus diperhatikan. Karena buku merupakan jendela ilmu pengetahuan yang bisa membuka cakrawala, mampu mengembangkan daya kreatifitas dan imajinasi karena membuat otak lebih aktif mengasosiasikan simbol dengan makna.
Dengan terbiasa membaca buku, siswa akan terasah otak dan pola fikirnya. Membaca harus dijadikan aktifitas siswa sehari-hari. Buku harus dicintai dan bila perlu dijadikan sebagai kebutuhan pokok siswa dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Jika ada kelebihan uang saku, daripada membeli mainan atau jajanan di sekolah, lebih baik membeli buku. Contoh lain dengan membentuk suatu kelompok baca, membeli secara patungan. Buku tersebut bisa dimanfaatkan secara bersama, atau pun bisa didokumentasikan ke perpustakaan sekolah.
Idealnya, setiap perpustakaan sekolah mampu menyediakan minimal 2.500 judul buku. Judul sebesar itu tidak termasuk koleksi lama yang telah dipunyai, akan tetapi koleksi uptodate yang sangat dibutuhkan masyarakat sekolah. Memang terasa cukup berat. Dengan anggaran yang terbatas, perpustakaan sekolah harus menyediakan koleksi uptodate yang sedemikian besar jumlahnya.
Untuk tujuan baik, kita semua harus berusaha bukan? Memang kalau ditanggung sendiri oleh perpustakaan akan terasa berat dan imposible. Bukankah banyak alternative cara pengadaan koleksi untuk mencapai jumlah ideal di atas?? Contoh. Sekolah A dengan keterbatasan dana hanya mampu membeli 1.000 judul buku yang uptodate.1.500 judul yang belum terpenuhi bisa disiasati dengan bekerjasama dengan perpustakaan sekolah B. Untuk jangka waktu 1 bulan koleksi yang ditukar dengan sekolah B sejumlah 500. Dengan perjanjian yang ditetapkan bersama, sekolah A akan mendapat pinjaman sejumlah buku yang sama. Setelah kerjasama selesai, bisa dilanjutkan dengan sekolah C. Begitu seterusnya. Sehingga siswa merasa koleksi yang dibaca di perpustakaan selalu ada yang baru, bacaan mereka terus berganti-ganti. Dengan cara itu, jumlah koleksi perpustakaan bisa melampaui target minimal 2.500 judul buku, walau tidak harus dipunyai sendiri. Dengan bacaan uptodate yang terus berganti, siswa menjadi kaya akan wawasan, ilmu pengetahuan, informasi, tidak gaptek serta menjadi siswa pintar yang mempunyai segudang prestasi.
Kita juga dapat menggunakan pedoman yang dibuat oleh IFLA/UNESCO dalam menyediakan koleksi yang bermutu dan variatif, yaitu rumusan yang menyatakan bahwa setiap siswa mendapatkan jatah 10 judul buku. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan kondisi perpustakaan sekolah yang ada di negara maju seperti Amerika. Di sana, untuk setiap siswa, perpustakaan sekolah mampu menyediakan 40 judul buku.
Akan tetapi, sekali lagi hal itu bisa disiasati. Misalnya saja dengan mendirikan kelompok baca yang terdiri dari 10 siswa. Tiap-tiap siswa membawa 1 buku, sehingga total per kelompok baca berjumlah 10 judul buku yang berbeda. Untuk setiap kelompok baca dijadualkan bisa menyelesaikan seluruh bacaannya dalam waktu 1 minggu. Setelah itu, bisa menceritakan kembali bacaan yang dibacanya, meringkas, atau pun membuat laporannya. Baru kemudian diadakan tukar-menukar bacaan diantara semua kelompok baca yang terbentuk disekolah. Apabila jadual tukar-menukar tersebut sudah terpenuhi, maka dilakukan periode baru, sehingga buku yang beredar di masing-masing kelompok baca akan mengalami peremajaan/pergantian koleksi yang baru. Sehingga siswa akan menjadi terbiasa dengan membaca, memahami setiap bacaan, kaya akan wawasan dan ilmu pengetahuan, yang menjadi prasyarat agar siswa bisa berprestasi.
Untuk menambah koleksi yang bermutu dan variatif, perpustakaan sekolah juga bisa menempuh langkah sebagai berikut. Setiap siswa yang lulus sekolah, diwajibkan untuk menyumbangkan 1 buku untuk dijadikan koleksi perpustakaan. Akan tetapi langkah ini perlu disosialisasikan kepada seluruh siswa, guru, manajemen sekolah, bahkan wali siswa, agar tidak terjadi salah pengertian di kemudian hari. Dengan koleksi yang bermutu dan variatif, diharapkan akan menumbuhkan kegemaran membaca serta dapat meningkatkan kemampuan berbahasa siswa.
Koleksi yang memadai merupakan jaminan tercapainya tujuan pendidikan, khususnya di sekolah. Formasi untuk koleksi di perpustakaan sekolah seyogyanya berisi 60 % mewakili buku non fiksi penunjang kurikulum, sedangkan 40 % berupa novel, majalah, CD, game, video, dsb. Tidak baik jika sebuah perpustakaan sekolah mengisi sebagian besar koleksinya dengan buku non fiksi saja/buku pelajaran semua. Karena siswa juga membutuhkan bacaan sebagai hiburan/refreshing seusai mereka berkutat dengan pelajaran di kelas. Pun demikian, sangat tidak baik juga apabila koleksi perpustakaan diisi dengan banyak buku-buku fiksi. Bukankah perpustakaan tidak sama dengan persewaan komik di pinggir-pinggir jalan?? Yang bisa melalaikan siswa dari tujuan utamanya untuk belajar di sekolah ??
Sesekali perpustakaan sekolah, harus mencoba untuk mengadakan penelitian ‘kecil-kecilan’ untuk lebih meningkatkan layanan kepada masyarakat sekolah. Misalnya saja bekerjasama dengan guru dalam menyebarkan angket kepada siswa, mengenai jenis-jenis bacaan yang disukai siswa. Hasil daripada angket tersebut bisa menjadikan masukan perpustakaan sekolah khususnya, maupun pihak manajemen dan guru. Memahami akan kebutuhan bacaan siswa, akan memotivasi siswa untuk cinta kepada membaca, cinta terhadap bacaan, sebagai penghargaan/penghormatan terhadap sebuah karya, sekaligus mendorong mereka untuk menghasilkan karya yang bermutu dan prestasi.
Selain buku, minat membaca siswa perlu difasilitasi misalnya dengan membuat majalah dinding untuk science, atau pun karya sastra yang lainnya. Siswa bisa menggunting informasi yang bermanfaat dari koran/majalah di rumah, untuk dibawa ke perpustakaan sekolah. Kemudian untuk setiap hasil guntingan tersebut dikelompokkan menurut topiknya, untuk kemudian ditempel dan dipajang sebagai hasil karya dari siswa. Dalam kurun waktu tertentu, majalah dinding di perpustakaan sekolah ini harus terus di-update. Hal ini akan memotivasi siswa, selain untuk gemar membaca, juga gemar berkarya. Lewat karya di dinding ini pula, akan terjadi penyebaran informasi yang bermnfaat bagi siswa-siswa lain yang membaca. Sehingga makin banyak siswa yang pandai, cerdas dan semakin mudah pula mereka untuk berprestasi.
Agar tidak gaptek serta tidak ketinggalan informasi, koleksi perpustakaan juga perlu ditambah dengan akses internet, bisa berupa jurnal pendidikan atau pun informasi terkini lainnya. Pendidikan penelusuran informasi/browsing di internet harus diajarkan sejak pertama kali siswa masuk di sekolah, karena akan besar manfaatnya untuk membantu proses pendidikan yang berlangsung. Setelah itu perlu dilakukan pembinaan terprogram dan monitoring terhadap aktifitas siswa dalam ber-internet. Hanya informasi yang benar-benar bermanfaat saja yang bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan dan pelajaran siswa dalam kelas. Dengan internet, waktu pencarian terhadap sebuah informasi relatif lebih cepat. Dan informasi dari internet akan lebih uptodate. Apa pun masalah yang ditemui siswa, pasti ada solusinya di internet. Siswa juga dapat mengembangkan pelajarannya dengan dibantu sumber dari internet. Dengan internet siswa akan menjadi pelajar yang plus, prestasi pun sudah menanti di depan.

Perpustakaan sekolah merupakan pusat masyarakat sekolah dalam mencari sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Selain kinerja pustakawan sekolah serta koleksi yang baik, aktifitas layanan perlu diberdayakan guna mendukung peran perpustakaan sekolah. Aktifitas layanan perpustakaan sekolah akan banyak dipengaruhi
oleh aktifitas siswa dalam memanfaatkannya. Sebagai mitra siswa dalam belajar, perpustakaan sekolah dapat merencanakan user education agar siswa memahami maksud dan tujuan layanan yang diberikan.
Pustakawan sekolah harus kreatif dalam mengemas layanan panduan siswa ini. Jadual untuk user education ini perlu disusun sedemikian rupa agar berjalan secara efektif. Di sini siswa perlu dikenalkan bagian-bagian yang ada di perpustakaan sekolah. Seperti bagian peminjaman, penjajaran/shelving di rak koleksi, dsb. Di samping itu, perlu juga diajarkan fungsi dari masing-masing koleksi yang ada di perpustakaan. Dengan memahami maksud beberapa informasi yang ada di perpustakaan, siswa tidak akan salah jalan ketika akan mencari informasi dan ilmu pengetahuan sebagai pelengkap/tambahan dari mata pelajaran yang diterima di kelas.
Di kelas, pelajaran yang mereka terima tentu dapat dikembangkan dengan menggunakan acuan/sumber informasi di perpustakaan. Siswa bisa memperdalam ilmunya secara lebih detail. Proses penyerapan dan penalaran pelajaran merupakan awal dari proses yang harus dilalui siswa untuk menghasilkan karya yang bermutu. Siswa yang sering memanfaatkan perpustakaan sekolah, akan terbiasa dengan koleksi yang ada. Karena kelengkapan sumber informasi sangat menentukan dalam membuat karya yang bermutu, maka semakin banyak sumber informasi yang dipakai, makin baik pula suatu karya dapat dihasilkan.
Dengan rasio jumlah pustakawan sekolah dan siswa yang jauh dari ideal, maka seyogyanya sejak dini perpustakaan telah mengenalkan bagaimana tips-tips memanfaatkan layanan dan koleksi yang ada untuk membantu mencapai tujuan pendidikan siswa. Misalnya untuk sekolah dasar kelas 4 dan 5, sedangkan sekolah untuk sekolah menengah kelas 2. Selain mereka diberikan bimbingan cara memanfaatkan perpustakaan dengan benar, mereka juga dibebani kewajiban untuk mensosialisasikan kepada adik-adik kelasnya. Dengan pendidikan yang berantai, seluruh siswa akan mempunyai ilmu tentang bagaimana memanfaatkan perpustakaan sekolah dengan baik sehingga akan lebih termotivasi untuk belajar. Belajar akan menjadi aktifitas sehari-hari siswa. Siswa yang terbiasa dengan belajar, akan lebih mudah pula dalam berprestasi.
Siswa juga harus terus untuk dilatih berdiskusi. Misalnya saja berdiskusi tentang suatu cerpen atau mendiskusikan tentang terjadinya gelombang pasang air laut yang disebabkan oleh gerhana bulan. Bertempat di ruang diskusi perpustakaan sekolah, dipandu oleh guru dan pustakawan sekolah, siswa dilatih untuk mengungkapkan ide-ide ilmiahnya, mempertahankan pendapatnya, serta mencari solusi/kesimpulan dari suatu permasalahan yang terjadi. Untuk bisa mendapatkan ide ilmiah, siswa terlebih dahulu harus terbiasa dengan membaca maupun browsing di internet, sehingga wawasan keilmuan siswa akan lebih luas dan terfokus. Siswa yang kaya akan berbagai ide ilmiah, tidak akan kesulitan dalam berkarya dan berprestasi.
Menjajal penelitian terhadap masalah yang terjadi di sekitar, dihubungkan dengan dengan mata pelajarannya, sangat mungkin dikerjakan oleh siswa. Dengan dibantu guru pembimbing penelitan dan pustakawan sekolah, siswa akan lebih bersemangat dan termotivasi dalam penelitian. Perpustakaan sekolah harus menyediakan semua informasi yang dibutuhkan selama penelitian berlangsung, termasuk dalam pembuatan laporan penelitian.
Selain memberikan layanan terfokus pada siswa, perpustakaan sekolah dapat mengembangkan dan meningkatkan layanannya, bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, antara lain orang tua siswa, sekolah sejenis yang lebih baik, serta dengan perpustakaan umum/daerah.
Orang tua siswa merupakan mitra belajar siswa di rumah. Dalam program membaca sebagai aktifitas siswa di rumah, perpustakaan sekolah dapat memotivasi orang tua agar menjadi teladan bagi putra-putrinya. Saat menunggu anaknya pulang sekolah, orang tua bisa meluangkan waktu untuk membaca di perpustakaan sekolah. Selain itu, peran oarang tua juga bisa menjadi penyedia anggaran untuk pembelian buku, memberi hadiah ulang tahun dengan buku cerita/science terbitan terbaru, membudayakan membaca surat kabar/majalah di rumah, serta mengajak anak-anak ke perpustakaan umum/daerah saat setiap libur akhir pekan. Budaya membaca dan belajar yang dikembangkan orang tua akan mendarah daging pada anak, sehingga secara otomatis, otak mereka selalu terasah dengan ilmu dan pengetahuan. Siswa tidak akan mengalami kesulitan lagi dalam penyerapan dan penalaran pelajaran jika otak mereka selalu terasah dan terbiasa dengan ilmu pengetahuan. Bukankah siswa berprestasi akan selalu mengasah pola fikirnya dengan ilmu pengetahuan ??
Untuk menjadi lebih baik, perpustakaan sekolah harus terus berbenah. Studi banding dengan sekolah yang sejenis, tetapi sudah terlebih dulu memiliki prestasi; harus terus dilakukan. Mereka bisa berbagi tentang cara belajar, cara menambah ilmu pengetahuan di luar kelas, cara memanfaatkan perpustakaan beserta koleksinya, dsb. Tujuannya agar rahasia sekolah unggulan dapat diterapkan, dan siswa yang belum berprestasi dapat berbagi pengalaman dengan siswa sekolah ungulan yang telah berprestasi.
Dengan perpustakaan umum/daerah, perpustakaan sekolah juga bisa bekerjasama dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan layanannya kepada siswa, khususnya bagi siswa kelompok usia anak dan remaja. Kerjasama dapat dilakukan misalnya dengan melakukan study visit ke perpustakaan umum/daerah untuk mengetahui koleksi apa saja yang sesuai untuk siswa pada usia anak-anak atau remaja, serta layanan apa saja yang telah dihadirkan di sana. Sehingga sepulang dari perpustakaan umum/daerah, siswa akan memiliki wawasan tentang semua hal yang berkait dengan perpustakaan dan jasa layanannya. Sedangkan bagi perpustakaan sekolah, bisa berbenah ke dalam. Siswa yang senang dan sering memanfaatkan perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi dan ilmu pengetahuan, akan terbantu dalam mewujudkan prestasi dan cita-citanya.


Tidak Ada Guru Di Sekolah Itu, Kepala Sekolah Cuti Karena Istrinya Melahirkan
Guru di Pedalaman NTT
Sejumlah siswa SD Demondei Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sedang bermain lompat tali, sebagian bermain kelereng, dan sebagian duduk bercerita dengan teman di halaman sekolah. Setelah puas bermain, mereka masuk ruang kelas, mengambil tas sekolah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kegiatan itu dilakukan hampir setiap hari.
Tidak ada guru di sekolah itu. Kepala sekolah cuti karena istrinya melahirkan di kampung asal, sekitar 10 kilometer dari Demondei. Tiga guru lain sudah dua bulan tidak masuk kelas dengan alasan mengikuti pendidikan kesetaraan strata satu melalui program Universitas Terbuka (UT) di Larantuka, ibu kota Flores Timur.
Ketiga guru itu lulus sekolah pendidikan guru (SPG), kecuali kepala sekolah yang sarjana FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang. Dengan alasan kesetaraan pendidikan, tiga guru di sekolah itu meninggalkan tempat tugas yang jauh di pedalaman untuk mengikuti pendidikan lanjutan.
Di sekolah itu masih ada tiga guru sukarela, lulus diploma pendidikan guru sekolah dasar (PGSD). Tetapi, mereka juga tidak datang ke sekolah saat guru- guru negeri tidak ada di tempat.
Ketiga guru sukarela itu tidak dibayar sama sekali. BP3 di sekolah itu tidak berfungsi. Orangtua siswa menolak mengumpulkan uang untuk membayar ketiga guru itu karena tidak punya uang.
Mereka hanya bekerja sambil menunggu jadwal tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) guru di Larantuka. Mereka berharap kepala sekolah setempat dapat memberi rekomendasi dan keterangan ”pengalaman mengajar” 2-3 tahun di sekolah itu untuk mempercepat proses pengangkatan menjadi CPNS.
Marlinda Deran (22), guru sukarela di Desa Demondei, Senin (11/8), mengatakan, kerja tanpa imbalan membuatnya tidak betah datang ke sekolah, sementara kebutuhan hidup setiap hari terus naik. Ia sudah dua tahun mengabdi di sekolah itu.
”Saya ini perempuan, butuh macam-macam. Kalau minta uang kepada orangtua, mereka selalu mengeluh, sudah biaya kuliah mahal-mahal masih minta uang, apalagi adik-adik masih banyak dan mereka butuh uang untuk sekolah,” katanya.
Memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, Marlinda harus memetik kopi, kakao, dan vanili milik orangtuanya di desa itu untuk dijual di pasar. Hanya dengan cara ini ia bisa membeli pulsa telepon seluler, bedak, pakaian, dan kebutuhan lain. Ia pun terpaksa meninggalkan kelas.
Siswa kelas V SD Demondei, Remigius Beda (8), salah satu dari 270 siswa SD setempat, mengatakan, sekitar dua bulan satu per satu guru di sekolah itu meninggalkan tempat kerja. Tetapi, orangtua memaksanya tetap datang ke sekolah dengan alasan masih ada tiga guru honor, putra asli dari desa itu yang membantu proses belajar mengajar di sekolah.
Akan tetapi, guru-guru ini pun jarang datang ke sekolah. Mereka hadir di sekolah itu selama ada kepala sekolah dan guru-guru negeri. Para guru sukarela ini tidak kreatif mengajar, kecuali mendapat penugasan dari kepala sekolah.
Menjadi dokter
Siswa SD yang bercita-cita menjadi dokter ini pun tidak tahu di mana keberadaan para guru itu. Ia berharap para guru tetap di tempat tugas sehingga kegiatan belajar mengajar berlangsung normal.
Matias Mamu, orangtua murid dari desa itu, menuturkan, orangtua siswa sangat kecewa dengan perilaku guru akhir- akhir ini. Mereka jarang berada di tempat dengan alasan ikut pendidikan kesetaraan, istri melahirkan, anak sakit, guru sakit, ikut pesta nikah anggota keluarga, dan seterusnya.
”Guru-guru itu tidak ikut program kesetaraan. Mereka kembali ke kota bertemu anggota keluarga. Mereka datang ke tempat tugas menjelang ujian kenaikan kelas atau ujian akhir. Menghindari emosi dari orangtua siswa, para guru itu sengaja memberi nilai ujian tinggi kepada para siswa,” kata Matias Mamu.
Padahal, anak-anak tidak tahu menulis, membaca, dan menghitung. Banyak anak lulus dengan nilai sangat memuaskan, tetapi tidak lancar membaca dan menulis.
Jika mereka ini dikirim melanjutkan pendidikan ke SLTP, banyak di antara mereka terpaksa mengulang kelas karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Pengetahuan dasar mereka sangat terbatas, bahkan tidak ada sama sekali.
Kepala Desa Peropak Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya Charles Guadolu menambahkan, dari tujuh guru di SD Peropak, lima di antaranya tinggal di Weetebula. Setiap hari mereka harus pergi ke SD Peropak menggunakan sepeda motor.
”Dalam satu pekan mereka hanya tiga kali masuk sekolah dengan berbagai alasan, misalnya ban motor pecah di jalan, anak dan istri sakit, ada hambatan pohon di jalan, dan seterusnya. Tetapi, sesungguhnya mereka berada di kota bersama istri dan anak,” kata Guadolu.
Keluhan serupa disampaikan Abdon Oematan, warga Fatumnasi, Kecamatan Napan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kualitas sekolah-sekolah dasar yang jauh dari pusat kabupaten di Timor Tengah Selatan sangat memprihatinkan. Siswa lulus SD dengan nilai memuaskan, tetapi tidak tahu tulis dan baca.
Guru-guru di pedalaman tidak berpedoman pada kurikulum. Mereka mengajar sesuai dengan selera sehingga saat siswa mengikuti ujian nasional hanya beberapa siswa yang lulus.
Kornelis Kopong Tokan, guru negeri pada SD Demondei Flores Timur, menjelaskan, guru-guru jarang masuk sekolah karena mengikuti pendidikan UT di Larantuka. Guru-guru SD di Adonara, bahkan Flores Timur, kebanyakan lulus SPG atau diploma. Di Kecamatan Wotan Ulumado, misalnya, hanya satu orang sarjana yang mengajar di SD Baniona.
Program pendidikan jarak jauh seperti UT, menurut Tokan, mengandalkan sistem teknologi informasi, sementara di daerah kepulauan fasilitas pendukung teknologi komputer tidak ada. Di Larantuka, ibu kota Flores Timur, saja sangat sulit mendapatkan internet. Satu-satunya sarana internet yang ada di Telkom Larantuka pun tidak berfungsi.
Sumber: Kompas (KORNELIS KEWA AMA)


Kantin Kejujuran dan Pendidikan Antikorupsi

Oleh: Muhammad Kosim,
Guru Agama Islam SMP Negeri 8 Padang

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, berbagai inovasi sangat dibutuhkan. Pemerintah Kota Padang telah melakukan berbagai inovasi yang tidak hanya peningkatan kualitas akademik an sick, akan tetapi pembinaan akhlak pun mendapat perhatian. Salah satu di antaranya adalah dengan membuat “kantin kejujuran”. Di tingkat SMP, Kantin Kejujuran baru diberlakukan di SMP Negeri 8 Padang. Tanggal 19 Januari 2008 lalu, Ketua Karang Taruna Nasional DR Dodi Susanto MSi mencanangkan program tersebut yang dihadiri oleh Kajati Sumbar dan Walikota Padang Drs Fauzi Bahar MSi. Dipilihnya SMP Negeri 8 Padang sebagai percontohan mengingat bahwa sekolah ini telah memprogramkan kantin kejujuran sejak setahun terakhir-meskipun belum maksimal-sebagai implementasi dari motto SMP Negeri 8 Padang: “Cerdas dan Berakhlak Mulia”. Pencanangan langsung disambut positif oleh Walikota Padang akan menerapkan kantin kejujuran di seluruh sekolah yang berada di Padang. Direncanakan launching program tersebut dilaksanakan 2 Mei mendatang bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.

Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut. Di kantin ini, kesadaran siswa sangat dituntut untuk berbelanja dengan membayar dan mengambil uang kembalian jika memang berlebih, tanpa harus diawasi oleh guru atau pegawai kantin. Salah satu motto yang ditanamkan di kantin ini adalah Allah Melihat Malaikat Mencatat. Kantin Kejujuran merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pendidikan Antikorupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu problema bangsa yang hingga kini belum tuntas diselesaikan adalah praktik korupsi. Virus korupsi yang telah mewabah dan tumbuh subur di masa orde baru telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan, bahkan rnenghambat kemajuan bangsa dan negara. Sangat sulit untuk memutus tali rantai virus tersebut. Meskipun demikian, putra-putri bangsa yang masih memegang idealisme yang tinggi dan merindukan keadilan di negeri ini akan tetap berupaya untuk memberangus virus korupsi.

Korupsi merupakan penyakit masyarakat, bukanlah budaya. Sebab, budaya bangsa Indonesia yang Iuhur tidak pernah mengajarkan apalagi melestarikan penyakit tersebut. Praktik korupsi juga ditolak oleh agama, terlepas agama apa pun dia. Oleh karena itu, sifat jujur merupakan penangkal yang efektif dari virus korupsi. Bahkan dalam ajaran Islam, sifat jujur akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang bernilai. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnyva kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al- jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat di sisi Allah sebagai ash-shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan ke dalam an- naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. “ (HR. Al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606).

Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda. Sebab, prevention is better than cure, pencegahan lebih balk dari pada mengobati. Namun pelaksanaan kantin kejujuran akan sukses dengan dukungan bersama dari warga sekolah. Program tersebut tidak hanya keinginan dari atasan, akan tetapi kebijakan pemerintah justru patut diberikan apresiasi yang tinggi dengan mensukseskannya secara bersama. Bukan berarti program ini menambah beban bagi sekolah, terutama bagi guru. Justru melalui program ini mempermudah guru untuk mendidik akhlak siswa. Sebab, tugas guru tidak hanya melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru turut bertanggung jawab dalam membina kepribadian siswa. Hal ini sesuai dengan amanah UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen di mana pada pasal 6 disebutkan bahwa “kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional...”.

Sementara salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia. Hat ini ditegaskan dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “... untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sekali lagi, tugas guru tidak hanya mengajarkan materi an sich, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian peserta didik yang sempurna. Selain itu, orangtua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat. Dengan adanya kerja sama yang baik antara orangtua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat lnsya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi. Amin... (***)

Sumber: Opini dari Harian Padang Ekspres
Senin, 07 April 2008


Memandang dari Balik Pagar Sekolah Bertaraf InternasionalOleh wirnadianhar
Rabu, 24 Desember 2008 05:50:41
(ANTARA News) - Scope adalah wajah lain pendidikan Indonesia. Pada festival yang digelar di salah satu sudut ruang Jakarta Convention Center (JCC) ini takkan didapati wajah tiris guru Indonesia, gedung sekolah rombeng nan mengenaskan, atau potret murid berambut kusam yang pergi sekolah tanpa alas kaki.

Scope adalah sebenar-benarnya surga pendidikan Indonesia, gedung sekolah nan megah yang halamannya berhias taman-taman asri, diasuh oleh guru-guru berdasi dan berparfum wangi, siswa-siswinya berkulit bersih dan senantiasa tersenyum ceria karena selalu optimis akan masa depan yang gilang-gemilang.

Simaklah, nama-nama sekolah itu juga teramat keren, seperti sekolah-sekolah di luar negeri; High/Scope Indonesia,  Beacon Academy, Modern Montessori International, Sinarmas World Academy, Sekolah Cita Buana, Madania Progressive Indonesian School, Singapore Productivity and Standards Board (PSB Singapore) School, Sekolah Global Jaya, Sekolah Bina Nusantara, Kinderfields, Ipeka International Christian School, Tiara Bangsa School, Ichtus International School, Victory Plus School atau Mentari School.

Kata "International" yang terselip pada nama sekolah-sekolah itu seolah dirancang untuk meneguhkan kesan bahwa sekolah itu memang sekolah bertaraf internasional. Setidaknya sekolah-sekolah itu telah mengadopsi kurikulum internasional seperti "International Baccalaureate" (IB), Global Assesment Certification (GAC), International Primary Curriculum (IPC), ataupun kurikulum Western Association of Schools an Collage (WASC). Seolah itu juga tergabung dalam Asosiasi Sekolah Nasional Plus - Bertaraf Internasional (ANPS-BI).

Sekolah-sekolah itu juga menawarkan fasilitas-fasilitas pendidikan paling prima; ruang kelas berpenyejuk udara, kolam renang berstandar "olympic", "wifi zone", laboratorium "Information Communication Tecnology" (ICT) yang terhubung dengan koneksi internet terjaga, "assembly hall", dan pendekatan pengajaran berstandar internasional yang dijamin mengasyikkan dan tak membosankan siswa-siswinya.

"Di sekolah kami setiap siswa akan mendapatkan satu 'laptop'. Karena kami yakin di masa datang siswa-siswi ini akan menghadapi derap teknologi yang makin cepat. Mereka adalah 'native ICT, beda dengan kita yang 'migran'," kata salah seorang penjaga stan Sinarmas World Academy, sekolah milik taipan grup Sinar Mas, yang turut ambil bagian dalam pameran "School Plus Expo (Scope) Indonesia 2008" itu.

Promosi yang dilakukan sekolah yang terletak di kawasan kota mandiri Bumi Serpong Damai itu terlihat sangat provokatif. Stan Sinarmas World Academy dipenuhi  komputer dan laptop Apple Macintosh generasi terbaru lengkap dengan simulasi dan aplikasi program yang dijanjikan bakal diperoleh siswa jika mendaftar di sekolah itu.

Sang penjaga stan juga tak kalah agresif. Dengan cekatan ia memberikan penjelasan tentang fasilitas yang bakal didapat jika orang tua sudi menyekolahkan di Sinar Mas. "Sekolah kami menerapkan kurikulum IB (International Baccalaureate), yang telah dipakai banyak sekolah bertaraf internasional di Indonesia dan dunia," katanya.

Ruang Merak Jakarta Convention Center memang menjadi hiruk pikuk, karena sekolah-sekolah bertaraf internasional saling berlomba memancing simpati pengunjung pameran pendidikan yang diikuti lebih dari 40 sekolah itu.

Stan sekolah lain tak kalah agresif. Dengan mengacu pada kurikulum "Singapore's Ministry of Education (MoE) dalam mata pelajaran pokok seperti Bahasa Inggris, matematika, dan "science", PSB Singapore School menjanjikan  siswa-siswinya akan mendapatkan pembelajaran berstandar kelas dunia.

"Seluruh siswa kelam enam PSB akan mengikuti test ujian tahap akhir Sekolah Dasar Internasional Singapura (iPSLE) dan pada akhir tingkat 'secondary four' siswa akan menjalani tes Sertifikat Umum Pendidikan Menegah Umum Internasional Cambridge (IGCSE). Cambridge IGCSE adalah ujian yang diakui oleh universitas dan perusahaan terkemuka dunia," kata Arman Jovian dari Secondary 1, Singapore PSB  Schools Jakarta.

Demi meneguhkan kelasnya sebagai sekolah internasional, sejumlah sekolah seperti Global Jaya, Tiara Bangsa, dan Beacon Academy merasa perlu mengundang guru ekspatriat untuk mengajar dan bahkan memimpin sekolah itu.

Beacon Academy harus mengundang Steven Herrod, sebagai principal eksekutif sekolah yang terletak di kawasan Sunter itu. Global Jaya, sekolah milik taipan properti Ciputra merasa perlu mengundang Richard F Henry sebagai "executive principal", sekolah yang terletak di Bintaro itu. Dayl Forde dari Australia dipercaya untuk memimpin Sekolah Tiara Bangsa, dan Sinarmas Academy menyerahkan pengelolaan sekolahnya pada Kathryn Young, pendidik berkebangsaan Australia yang telah delapan tahun mengajar di Indonesia.

Steven Herrod datang ke Beacon Academy Indonesia memang dengan bekal memadai. "Di Beacon kami memperkenalkan International Primary Curriculum (IPC). Kami adalah sekolah nasional pertama yang melaksanakan IPC. Kurikulum ini telah diterapkan di 330 sekolah di 44 negara," katanya.

Kehadiran para pendidik dari mancanegara, kata Nurcahyani (33), salah seorang pengunjung Scope, menjadi daya tarik untuk memilih sekolah bagi anaknya.  "Pengajar ekspatriat setidaknya memiliki pengalaman pendidikan yang lebih mendukung. Mereka dibesarkan dalam iklim pendidikan yang lebih maju, diharapkan budaya belajar mereka dapat diikuti oleh anak-anak kita," katanya.

Namun diakui, orangtua harus merogoh kantong yang lebih dalam untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah bertaraf internasional yang mempekerjakan pendidik asing.

  
Harga fantastik
Berapa harga yang harus dibayar, agar anak-anak Indonesia bisa belajar di sekolah-sekolah bertaraf Internasional itu? Sekolah Global Jaya, dalam lembar informasi pendaftaran, mencantumkan development fee (biaya pengembangan/uang pangkal) sebesar Rp73 juta untuk enam tahun. Sedangkan tuition fee atau SPP-nya dipatok Rp43,45 per tahun untuk taman kanak-kanak dan Rp52,8 juta per tahun. Biaya itu belum termasuk biaya ekstrakulikuler yang mendatangkan guru atau instruktur dari luar sekolah.

Sinarmas World Academy tak kalah mahal. Total biaya pendidikan untuk kelas 1-4 yang dipungut sekolah per tahun mencapai Rp80 juta, kelas 5-6 sebesar Rp82 juta per tahun dan kelas 7-10 (SMP) 89 juta per tahun.

"Tapi jika anak Anda masuk pada tahun ini, kami akan memberi diskon Rp11,2 juta di setiap level. Jadi jika anak Anda masuk kelas 5, pada tahun pertama Anda 'hanya' perlu membayar Rp69,9 juta dan pada tahun kedua Rp69,9 juta juga," kata seorang marketing Sinarmas.

PSB Singapore School bahkan tak menerima rupiah. Sekolah yang memiliki kampus di kawasan Kelapa Gading dan Kebon Jeruk itu menetapkan biaya dalam notifikasi dolar AS. Pada 2008, PSB menetapkan uang pendaftaran 300 dolar AS (sekitar Rp3 juta), "upfront payment" (uang muka) sebesar 2.000 dolar AS (Rp20 juta) dan instalment plan (uang pangkal)  sebesar 3.000 dolar AS (Rp30 juta).

PSB juga menetapkan SPP yang berbeda si setiap level. Untuk kelas kelompok bermain hingga TK, PSB mengutip biaya antara 1.200 - 3.000 (sekitar Rp12 juta hingga Rp30 juta per tahun), kelas 1-6 SD, SPP yang dipungut antara 3.800 - 4.100 dolar AS.  Sedangkan pada jenjang SMP, PSB mengutip biaya 4.800 - 5.600 dolar AS (sekitar Rp48 juta - Rp56 juta). Di luar itu PSB juga masih mengutip biaya kegiatan sebesar 250 - 300 dolar AS.

Untuk ukuran sekolah bertaraf internasional, Sekolah Bina Nusantara (Binus) dan Madania Progressive Indonesian School mengutip biaya pendidikan sedikit lebih rendah.  Level Primary Binus Serpong misalnya "hanya" mengutip uang pangkal Rp22 juta dan SPP Rp1,5 juta per bulan. Sekolah Madania mengutip uang pangkal sebesar Rp40 juta dan SPP Rp1,5 juta untuk level SD.

Dengan mengutip biaya yang fantastik itu, Sekolah Global Jaya memberikan janji pembelajaran yang tidak "biasa". "Alumni sekolah Global Jaya terbukti telah meraih sukses dalam berbagai profesi yang dipilihnya di seluruh dunia. Itu adalah bukti dari realisasi keluaran pendidikan kami.

Guru kami yang berdedikasi tinggi ditraining dengan baik akan mengimplementasikan pembelajaran bersatandar internasional bagi anak-anak dari TK hingga SMA," kata Executive Principal Sekolah Global Jaya, Richard F. Henry.

Beacon Academy menjanjikan pengembangan akademis dan pribadi bagi siswanya. "Lingkungan kami yang hangat dan penuh kepedulian, ukuran kelas yang kecil dan pendidik yang berpengalaman dan penuh perhatian, akan memastikan siswa kami dapat mencapai standar akademis yang tinggi," kata Direktur Beacon Education Indonesia, Ricard Sidharta.

  
ELITIS
Dengan harga pendidikan yang sefantastik itu, sekolah bertaraf internasional seperti Global Jaya, PSB Singapore School, ataupun Sekolah Tiara Bangsa, memang hanya dapat dijangkau kalangan berkantong tebal.

"Sekolah semacam itu hanya ada diangan-angan saya saja. Karena tak mungkin saya menyekolahkan anak saya ke sekolah-sekolah itu, kecuali jika pendapatan kami  puluhan juta per bulan," ujar Dedy Aryanto, salah seorang pengunjung pameran.

Dedy, yang merupakan karyawan sebuah bank di kawasan SCBD, Jakarta, mengaku telah mengalokasikan sekitar 15-20 persen untuk kebutuhan sekolah anaknya, tapi ia hanya bisa menjangkau sekolah swasta papan tengah, dengan tarif SPP di bawah Rp1 juta dan uang pangkal sekitar 10 juta.

Di Indonesia, yang 60 persen penduduknya memiliki kondisi lebih buruk dari Dedy, tentu makin sulit menggapai pendidikan bermutu itu.

Laporan UNESCO dalam "2009 EFA Global Monitoring Report", yang dikeluarkan akhir 2008, masih menempatkan posisi Indonesia pada nomor 71 dari 129 negara dalam pencapaian Education For All (EFA).

Posisi EFA Developmnt Index (EDI) Indonesia berada jauh di bawah Brunai Darussalam yang berada di urutan 36 dan Malasyia di urutan 45. Penilaian tersebut sealur dengan laporan "2008 An Asia-Pacific Citizens- Report Card Rating Governments Efforts to Achieve Education for All", diterbitkan ASPBAE dan Global Campaign for Education, yang memberi skor C- (skala penilaian antara A+ sampai F) pada pemerintah RI.

Gambaran yang sama diungkap Human Development Report 2007/2008, dimana Indonesia ditempatkan pada ranking 107 dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dibuat UNDP PBB. Posisinya satu tingkat lebih baik dari tahun sebelumnya, namun masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (peringkat 105), Singapura (peringkat 25), Brunei Darusalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 78), Thailand (peringkat 78) dan Filippina (peringkat 90).

Menurut badan itu, kurang dari 10 persen anak Indonesia yang mendapatkan pendidikan bermutu dan bersekolah di sekolah berstandar Internasional. Selebihnya, anak-anak Indonesia hanya dapat Melihat dari balik pagar.(*) (Teguh Priyanto)
Sumber : Antara edisi tanggal 23 Desember 2008


Pemanfaatan Internet sebagai Sumber Pembelajaran IPS

 
Realitas empirik selama ini di tingkat persekolahan memperlihatkan, dalam proses pembelajaran IPS, guru IPS kurang optimal baik di dalam memanfaatkan maupun memberdayakan sumber pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran IPS cenderung masih berpusat pada guru (teacher centered), textbook centered, dan monomedia. Adalah tidak dapat dipersalahkan apabila banyak siswa mengganggap proses pembelajaran IPS sebagai sesuatu yang membosankan, monoton, kurang menyenangkan, terlalu banyak hafalan, kurang variatif, dan pelbagai keluhan lainnya.

Padahal pendidikan IPS merupakan synthetic science, karena konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi. Informasi faktual tentang kehidupan sosial atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat dapat ditemukan dalam liputan (exposure) media massa, karena media massa diyakini dapat menggambarkan realitas sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Meskipun untuk itu, informasi atau pesan (message) yang ditampilkannya¡Xsebagaimana dapat dibaca di surat kabar atau majalah, didengarkan di radio, dilihat di televisi atau internet¡Xtelah melalui suatu saringan (filter) dan seleksi dari pengelola media itu untuk berbagai kepentingannya, misalnya : untuk kepentingan bisnis atau ekonomi, kekuasaan atau politik, pembentukan opini publik, hiburan (entertainment) hingga pendidikan.

Terlepas dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi pemunculan suatu informasi atau pesan yang disajikan oleh media massa, kiranya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada masa kini pertemuan orang dengan media massa sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tidaklah berlebihan kiranya apabila abad ke-21 disebut sebagai abad komunikasi massa, bahkan dalam pembabakan sejarah umat manusia, McLuhan (1964) menyatakannya sebagai babak neo-tribal (sesudah babak tribal dan babak Gutenberg), yakni masa di mana alat-alat elektronis memungkinkan manusia menggunakan beberapa macam alat indera dalam komunikasi. Adapun Alvin Toffler (1981) menamakannya sebagai The Third Wave.

Sementara itu, seiring dengan pesatnya perkembangan media informasi dan komunikasi, baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software), akan membawa perubahan bergesernya peranan guru¡Xtermasuk guru IPS¡Xsebagai penyampai pesan/informasi. Ia tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi kegiatan pembelajaran para siswanya. Siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber¡Xterutama dari media massa, apakah dari siaran televisi dan radio (media elektronik), surat kabar dan majalah (media cetak), komputer pribadi, atau bahkan dari internet.

Adalah tidak berlebihan kiranya apabila disebutkan bahwa media massa sangat berpengaruh di dalam pendidikan IPS. Hal ini didasarkan pada berbagai temuan penelitian yang menyiratkan, antara lain, bahwa :

1. Media massa, khususnya televisi, telah begitu memasyarakat;

2. Media massa berpengaruh terhadap proses sosialisasi;

3. Orang-orang lebih mengandalkan informasi yang berasal dari media massa daripada dari orang lain;

4. Para guru IPS perlu memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajarannya; dan

5. Para orang tua dan pendidik, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, dapat meminimalisasikan pengaruh negatif media massa dan mengoptimalkan dampak positifnya. (Adiwikarta, 1988; Nielsen Media, 1989; Dominguez and Rincon, 1992; Prisloo and Criticos, 1994)

Lain daripada itu, massa dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran IPS melalui tiga cara :

1. Media massa dapat memperbaiki bagian content dari kurikulum IPS;

2. Media massa dapat dijadikan alat pembelajaran yang penting bagi IPS; dan

3. Media massa dapat digunakan untuk menolong siswa mempelajari metodologi ilmu-ilmu sosial, khususnya di dalam menentukan dan menginterpretasi fakta-fakta sosial (Clark, 1965 : 46-54).

Tulisan ini mencoba memberikan salah satu solusi alternatif untuk mengatasi problematika sebagaimana dipaparkan di awal tulisan, yakni dengan memanfaatkan salah satu media massa kontemporer¡Xinternet sebagai sumber pembelajaran IPS.

Internet, singkatan dari ¡§internatonal network¡¨, adalah jaringan informasi global, yakni ¡§the largest global network of computers, that enables people throughout the world to connect with each other¡¨. Internet dicetuskan pertama kali ide pembuatannya oleh J.C.R. Licklider dari MIT (Massachusetts Institute Technology) pada bulan Agustus 1962. Di Indonesia, internet mulai meluas sekitar tahun 1995, sejak berdirinya indointernet (Purbo, 2000).

Untuk dapat menggunakan internet diperlukan sebuah komputer (memory minimal 4 mega), harddisk yang cukup, modem (berkecepatan minimal 14.400), sambungan telepon (multifungsi : telepon, faksimile, dan internet), ada program Windows, dan sedikit banyak tahu cara mengoperasikannya. Selanjutnya hubungi provider terdekat. Andaikan semua prasyarat tadi tidak dimiliki, cukup mendatangi warnet (warung internet) terdekat yang banyak terdapat di kota-kota besar¡Xmaka kita dapat mengakses situs-situs apa saja sesuai dengan kebutuhan kita.

Internet disebut juga media massa kontemporer, karena memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah media massa, seperti antara lain : ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim serta melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat oleh khalayaknya.

Pemanfaatan internet sebagai sumber pembelajaran IPS mengkondisikan siswa untuk belajar secara mandiri. ¡§Through independent study, students become doers, as well as thinkers¡¨ (Cobine, 1997). Para siswa dapat mengakses secara online dari berbagai perpustakaan, museum, database, dan mendapatkan sumber primer tentang berbagai peristiwa sejarah, biografi, rekaman, laporan, data statistik, atau kutipan yang berkaitan dengan IPS (Gordin et. al., 1995). Informasi yang diberikan server-computers itu dapat berasal dari ¡§commercial businesses (.com), goverment services (.gov), nonprofit organizations (.org), educational institutions (.edu), atau artistic and cultural groups (.arts)¡¨

Siswa dapat berperan sebagai seorang peneliti, menjadi seorang analis, tidak hanya konsumen informasi saja. Mereka menganalisis informasi yang relevan dengan pembelajaran IPS dan melakukan pencarian yang sesuai dengan kehidupan nyatanya (real life).

Siswa dan guru tidak perlu hadir secara fisik di kelas (classroom meeting), karena siswa dapat mempelajari bahan ajar dan mengerjakan tugas-tugas pembelajaran serta ujian dengan cara mengakses jaringan komputer yang telah ditetapkan secara online.

Siswa juga dapat belajar bekerjasama (collaborative) satu sama lain. Mereka dapat saling berkirim e-mail (electronic mail) untuk mendiskusikan bahan ajar IPS. Kemudian, selain mengerjakan tugas-tugas pembelajaran dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru IPS, siswa dapat berkomunikasi dengan teman sekelasnya (classmates).

Pemanfaatan internet sebagai sistem e-learning memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut :

1. Dimungkinkan terjadinya distribusi pendidikan ke semua penjuru tanah air dan kapasitas daya tampung yang tidak terbatas karena tidak memerlukan ruang kelas;

2. Proses pembelajaran tidak terbatas oleh waktu seperti halnya tatap muka biasa;

3. Pembelajaran dapat memilih topik atau bahan ajar yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing;

4. Lama waktu belajar juga tergantung pada kemampuan masing-masing pembelajar/siswa;

5. Adanya keakuratan dan kekinian materi pembelajaran;

6. Pembelajaran dapat dilakukan secara interaktif, sehingga menarik pembelajar/siswa; dan

7. Memungkinkan pihak berkepentingan (orang tua siswa maupun guru) dapat turut serta menyukseskan proses pembelajaran, dengan cara mengecek tugas-tugas yang dikerjakan siswa secara on-line.

Selain beberapa kelebihan di atas, ada kelemahan yang mungkin timbul dalam sistem e-learning ini, yaitu tingginya kemungkinan gangguan belajar; sebab sistem tersebut mengkondisikan siswa untuk belajar mandiri, sehingga faktor motivasi belajar menjadi lebih signifikan terhadap keberhasilan belajar siswa. Untuk itu diperlukan adanya semacam penasehat (counsellor) yang memantau dan memotivasi belajar siswa agar prestasi belajarnya tidak menurun, dengan cara mengerjakan tugas-tugas belajar sebaik-baiknya dan secara tepat waktu. Di samping itu juga agar siswa tidak mengakses hal-hal yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelajaran atau hal-hal yang bersifat negatif (misalnya membuka situs-situs porno, atau membobol rekening bank dan rahasia perusahaan).

Meskipun begitu, pemanfaatan internet (sistem e-learning) sebagai sumber pembelajaran IPS merupakan sebuah keniscayaan, karena beberapa alasan berikut :

1. Mengingat penduduk Indonesia yang sangat besar dan tersebar di berbagai wilayah, serta terbatasnya daya tampung sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, sehingga tidak mungkin dapat menampung mereka yang ingin belajar, maka prospek pemanfaatan internet sebagai suatu pendidikan alternatif cukup cerah;

2. Mendukung pencapaian pembelajaran IPS yang multicultural;

3. Mendorong kemampuan bagaimana belajar untuk belajar (learning to learn);

4. Membawa dampak ikutan yang positif, umpamanya meningkatnya kemampuan berbahasa Inggris; dan

5. Secara psikologis, akses terhadap internet juga menumbuhkan rasa percaya diri karena memungkinkan kita untuk tidak lagi terasing dari informasi sampai yang paling mutakhir.





Kritik Terhadap Pendidikan Indonesia
Banyak artikel, journal ataupun makalah yang telah membahas bagaimana pendidikan dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Tapi tidak banyak dari tulisan tersebut yang secara tegas mengatakan akan bagaimanakah nasib pendidikan itu sendiri. Klaim kebenaran atas perspektif pendidikan Indonesia selama ini masih mengacu kepada teori-teori dan pengalaman yang mereka dapatkan ketika bersekolah di luar negeri (maklum para pemegang kebijakan pendidikan kita sangat banyak yang sudah bersekolah ke luar negeri dan menempati posisi strategis). Akibatnya, pendidikan kita jarang yang mengadopsi budaya-budaya lokal. Kita buta sejarah dan buta terhadap nilai-nilai budaya bangsa.
Sesuatu yang tidak laku lagi di dunia barat (luar negeri) seperti MBS yang pernah diterapkan oleh Amerika dan ternyata Amerika sendiri mengalami kekacauan yang luar biasa dengan paradigma pendidikan yang mereka kembangkan, begitu juga Jepang. Tapi, apa yang bisa kita katakan untuk hal ini? Masyarakat kita (terutama para ahli pendidikan) sudah terlanjur membanggakan produk yang aneh-aneh, sebagai pengganti ketidakmampuan mereka dalam menggali nilai-nilai budaya bangsanya sendiri. Padahal, semua kita memahami bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam sebuah teori atau konsep, karena proses selalu ada dan terus mengalir seperti air.
Maka, untuk lima, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, pendidikan kita belum bisa menjadikan kita mandiri dan dihargai/dihormati oleh negara lain. So, pasti karena pendidikan kita lebih banyak menganut sistem proyek (baik kurikulum, sarana parasarana, pengadaan tenaga kependidikan, metode pembelajaran dan sistem evaluasi yang dijalankan). Pendidikan kita lebih banyak menghasilkan manusia-manusia yang mengabdi kepada uang, kedudukan (kemapanan), pendidikan kita juga menjadikan anak-anak kita menjadi manusia yang lemah dan suka meniru daripada berusaha menghasilkan sendiri karya-karyanya.
Apa yang bisa kita harapkan dari kondisi semacam ini dan bagaimana kita bisa keluar dan merubah prospek pendidikan kita?
Jawabannya ada di benak kita masing-masing, terlepas dalam tugas dan posisi apa kita sekarang ini. Hentikan cara-cara saling menyalahkan, pusatkan pendidikan untuk benar-benar membangun manusia Indonesia yang utuh, biaya operasional pendidikan yang telalu banyak terbuang untuk membayar pegawai dan perjalanan dinas sebaiknya dialihkan kepada pemenuhan kebutuhan peserta didik dalam menunjang keberhasilan belajarnya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus benar-benar dapat dijalankan sesuai dengan tujuan dan dasar pengambilan kebijakan itu.
Kurikulum yang selalu berubah-ubah setiap kali pergantian pemimpin, jelas tidak menjamin tercapainya tujuan dasar pendidikan, kecuali hanya sekadar mengejar popularitas dan kemapanan dalam kedudukan yang sekarang. Hentikan proyek penilaian yang terpusat seperti EBTANAS/UAN, karena bentuk evaluasi semacam ini hanya memberikan manfaat yang sedikit bagi peserta didik, peserta didik kita tidak hanya dituntut cerdas secara kognitif namun mereka juga harus cerdas dari segi praktis dengan skill yang mereka miliki. Bukankah banyak peserta didik yang mendapatkan nilai istimewa, sedangkan ia sendiri tidak mampu menerapkan apa yang ia ketahui bagi lingkungannya, ribuan sarjana di cetak dalam setahun dengan nilai di atas rata-rata toh juga jutaan dari mereka menjadi pengangguran. Para praktisi pendidikan kita terlalu disibukkan oleh hingar bingarnya tuntutan kesejahteraan, namun tidak ada satupun dari mereka yang berani berteriak ketika begitu banyak peserta didik yang tidak lulus ujian atau terlalu banyak lulusan mereka yang menjadi pengangguran..!
Mulailah dari rasa saling percaya dan saling menghargai terhadap bidang keilmuan kita masing-masing, kita harus memiliki rasa tanggung jawab yang sama terhadap pendidikan ini, orientasi kita terhadap kemapanan diri hendaknya dirubah kepada kemajuan pendidikan (GURU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA YANG DAPAT DIGUGU DAN DITIRU.
Insya Alloh, prospek pendidikan kita akan mengalami perubahan yang cukup luar biasa ditahun-tahun mendatang.



PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL


Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang – menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan (“bangsat”) dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Amirul Mukminin
Staf Pengajar UPT – Kebahasaan UNJA /ASM Jambi,
Manejer LPK Bahasa Inggris -MEC di Jambi


Menggunakan Keterampilan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran
Oleh: Joko Sutrisno

Pendapat umum menyatakan bahwa keterampilan berpikir yang efektif merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir seperti ini jarang diajarkan oleh guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif. Artikel ini mencoba menjabarkan definisi keterampilan berpikir, menjelaskan bagaimana seharusnya keterampilan berpikir tersebut diajarkan di sekolah, dan menunjukkan bagaimana keterampilan berpikir tersebut diterapkan pada pembelajaran di sekolah.

Definisi Keterampilan Berpikir
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan. Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam langkah-langkah sebagai berikut: (a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat, (b) mengidentifikasi fakta yang diketahui, (c) mengidentifikasi pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelumnya, dan (d) membuat perumusan prediksi hasil akhir.

Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.

Dalam makalahnya Andrew P. Jhonson (The Educational Resources Information Center (ERIC),  2002) memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.

Mengajarkan Keterampilan Berpikir
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.

Pada dasarnya pembelajaran keterampilan berpikir dapat dengan mudah dilakukan. Sayangnya, kondisi pembelajaran yang ada di kebanyakan sekolah di Indonesia belum begitu mendukung untuk terlaksananya pembelajaran ketrampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendalanya antara lain pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut adalah:

1. Identifikasi komponen-komponen prosedural
Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk menuntun pemikiran siswa.

2. Instruksi dan pemodelan langsung
Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit, misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini harus relatif ringkas.

3. Latihan terbimbing
Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan pengulangan-pengulangan.

4. Latihan bebas
Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika ketiga langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa akan mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% - 100%. Latihan mandiri tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih keterampilan yang telah diajarkan.

Bagaimana dengan Di Indonesia?
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir tersebut di sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu keterampilan berpikir dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau keterampilan berpikir diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman, sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.

Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:
- keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa
- keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi
- pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
-  pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).

Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa bertambah banyak.

Kesimpulan
Berpikir secara efektif merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya; meskipun bagaimana berpikir secara efektif ini jarang mendapatkan perhatian dari para guru. Riset menunjukkan bahwa meskipun keterampilan dasar siswa tetap konsisten atau sedikit mengalami kenaikan, tetapi siswa tidak memperoleh keterampilan strategi berpikir secara efektif di sekolah. Jika siswa mempelajari cara berpikir tingkat yang lebih tinggi dan kompleks, maka masuk akal bahwa instruksi keterampilan berpikir tersebut dapat dipakai sebagai alat yang potensial untuk meningkatkan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, jika kita ingin siswa menjadi pemikir yang handal, kita harus mengajarkan caranya.


Prinsip-prinsip dalam E-learning Menyangkut Elemen Media yang Dipilih


Kegiatan E-learning sudah banyak dijumpai di internet. Subjek yang ditawarkan dalam kegiatan e-learning tersebut juga bermacam-macam, dari yang sifatnya sangat akademis sampai yang sifatnya sangat praktis. Penyelenggara e-learning pun juga bervariasi, ada yang dari lembaga pendidikan yang sudah terkenal (misalnya universitas) atau pun lembaga pendidikan lain yang mungkin saja hanya bergerak di e-learning saja tanpa memiliki kelas-kelas tradisional.
Karena kegiatan e-learning murni mengandalkan komunikasi via internet sebagai moda komunikasi utamanya, maka bagaimana suatu materi pembelajaran disampaikan dan ditampilkan melalui internet menjadi sangat berperan terhadap keberhasilan program e-learning. Makalah ini akan menguraikan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam e-learning berkaitan dengan elemen media yang akan digunakan di dalamnya.

Dalam E-learning Framework yang dikembangkan oleh Sun Microsystem (Sun Microsystem, 2003), e-learning didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan internet, jaringan komputer, dan teknologi elektronika yang lainnya untuk memfasilitasi, mengukur, dan mengelola kegiatan belajar. Hal yang menarik dari e-learning adalah kemampuannya secara teori untuk mengurangi (atau bahkan menghilangkan sama sekali) dua pembatas terbesar dalam pengembangan dan pembelajaran yang berkelanjutan bagi para pembelajar, yaitu waktu dan biaya.

Sebuah perusahaan misalnya, tentu mengharapkan para pekerjanya dapat terus belajar dalam rangka meningkatkan kompetensi para pekerja. Namun, kendala yang dihadapi adalah masalah waktu pekerja (jika menempuh pendidikan tradisional yang waktu belajarnya sama dengan waktu efektif untuk bekerja, pekerja akan menjadi tidak produktif bagi perusahaan) dan biaya. Bagi sebuah perusahaan, harapan yang menyertai program e-learning di suatu perusahaan adalah bahwa tiap karyawan dapat meningkatkan keterampilan baru untuk meningkatkan kinerjanya “hanya dengan menggunakan komputer”, istilah lain dari belajar melalui e-learning

(Schank, 2002)
Ruth Clark (Clark, 2002) menuliskan enam prinsip yang harus diperhatikan berkaitan dengan elemen media yang digunakan supaya sebuah program e-learning berlangsung efektif. Keenam prinsip menyangkut elemen media dalam e-learning yang disebutkan Clark berikut merupakan dasar-dasar bagaimana mengembangkan media dalam e-learning. Pengembangan media yang dimaksud di sini menyangkut kombinasi teks, grafik, dan suara untuk menyampaikan materi pembelajaran. Keenam prinsip tersebut adalah:
  1. Prinsip Multimedia: menambahkan grafik ke dalam teks meningkatkan kegiatan belajar. Yang dimaksud dengan grafik di sini adalah gambar diam (garis, sketsa, diagram, foto) dan gambar bergerak (animasi dan video). Grafik yang ditambahkan ke dalam teks sebaiknya yang selaras dengan pesan yang disampaikan dalam teks. Grafik yang ditambahkan untuk hiburan (entertainment) dan kesan dramatis tidak saja tidak meningkatkan kegiatan belajar, tetapi justru dapat menurunkan kegiatan belajar.
  1. Prinsip Contiguity (kedekatan): menempatkan teks di dekat grafik meningkatkan kegiatan belajar. Contiguity merujuk pada susunan teks dan grafik pada layar. Seringkali dalam suatu materi e-learning, grafik diletakkan pada bagian atas atau bawah teks sehingga teks dan grafik tidak bisa dilihat dalam satu layar, atau teks dan grafik tidak dapat dilihat secara bersamaan. Ini merupakan pelanggaran yang umum terjadi terhadap prinsip contiguity, yang menyatakan sebaiknya grafik dan teks yang bersesuaian diletakkan berdekatan.
  1. Prinsip Modality: menjelaskan grafik dengan suara meningkatkan kegiatan belajar. Prinsip ini terutama berlaku untuk animasi atau visualisasi kompleks dalam suatu topik yang relatif kompleks dan belum dikenal oleh pembelajar.
  1. Prinsip Redundancy (kelebihan): menjelaskan grafik dengan suara dan teks yang berlebihan dapat merusak kegiatan belajar. Banyak program e-learning yang menyajikan kata-kata dalam teks dan suara yang membaca teks. Banyak hasil riset yang mengindikasikan bahwa kegiatan belajar terganggu ketika sebuah grafik dijelaskan melalui kombinasi teks dan narasi yang membaca teks.
  1. Prinsip coherence (kesesuaian): menggunakan visualisasi, teks, dan suara yang tidak berhubungan (sembarangan) dapat merusak kegiatan belajar. Dalam banyak website e-learning sering ditemukan penambahan-penambahan yang tidak perlu, misalnya penambahan games, musik latar, dan ikon-ikon tokoh kartun terkenal. Penambahan-penambahan ini, selain tidak meningkatkan kegiatan belajar, juga dapat merusak kegiatan belajar itu sendiri.
  1. Prinsip personalisasi: menggunakan bentuk percakapan dan gaya-gaya pedagogis dapat meningkatkan kegiatan belajar. Sejumlah penelitian yang dirangkum oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam bukunya, The Media Equation, menunjukkan bahwa seseorang memberikan respon terhadap komputer seperti ketika ia memberi respon kepada orang lain.
Proses pemilihan media untuk pembelajaran jarak jauh (termasuk di dalamnya adalah e-learning), dalam banyak kasus, menyerupai dengan pemilihan media untuk pembelajaran dengan sistem tatap muka atau pembelajaran tradisional. Penyampaian materi pembelajaran melalui media online menawarkan kemudahan akses bagi pembelajar. Pemilihan media untuk e-learning dimulai dengan melihat tujuan kegiatan belajar, yaitu apakah tujuan kegiatan belajar dapat dicapai melalui kegiatan mendengarkan, melihat, atau melalui interaksi media. Dengan demikian, tujuan kegiatan belajar akan menentukan media yang digunakan, baik berdiri sendiri-sendiri atau pun merupakan gabungan dari berbagai media (Ely, 2003).




Tips untuk masuk perguruan tinggi swasta

"Mau nerusin ke mana?" Itu adalah satu pertanyaan yang sering dilontarkan sesudah kita menyelesaikan studi di SLTA. Pertanyaan klasik yang sederhana tetapi tidak semudah itu untuk menjawabnya. Ngomong-ngomong, apa jawaban anda?
Di Indonesia saat ini terdapat 1465+ Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tersebar dari Sabang sampai Merauke (tidak termasuk Timor Leste). Ada PTS berbentuk Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi, dan lain-lain. Masing-masing PTS mungkin menyelenggarakan lebih dari satu program studi, dan bisa jadi suatu program studi diselenggarakan dalam 2 atau lebih jalur/jenjang pendidikan, misalnya D1, D3, S1. Bagaimana anda menentukan PTS pilihan anda? Jurusan apa? Lalu jalur/jenjang pendidikannya? Faktor apa saja yang perlu anda pertimbangkan dalam menentukan pilihan tersebut? Permasalahan menjadi jauh lebih sederhana jika di kota anda hanya ada satu PTS dan, karena satu atau lain hal, anda tidak bisa kuliah di luar kota. Tetapi, kasusnya biasanya tidak demikian. Permasalahan muncul karena anda bisa memilih.
Minat Faktor utama yang harus anda pertimbangkan adalah minat anda. Hampir boleh dipastikan, tidak ada mahasiswa yang berhasil dalam studinya jika itu bertentangan dengan minatnya. Orang lain, termasuk orang tua, boleh memberikan saran atau masukan apapun, tetapi andalah yang akan menjalani sekian tahun proses belajar di perguruan tinggi. Sudah terlalu sering kita mendengar kegagalan mahasiswa karena ketidakcocokan dengan bidang studi yang diminatinya. Jangan sampai hal ini terjadi pada anda.
Biaya Kemampuan keuangan sangat menentukan pilihan anda. Ini adalah faktor terpenting berikutnya yang harus anda perhitungkan. Kuliah di perguruan tinggi melibatkan banyak komponen biaya. Anda mungkin geleng-geleng kepala kalau saya sebutkan yang berikut ini, mulai uang pendaftaran, uang gedung, uang kuliah pokok, uang SKS, uang praktikum, uang ujian, uang jaket, uang buku, uang kesehatan, uang KKN, uang skripsi, uang ini, uang itu........ you name it. Belum lagi biaya-biaya tidak langsung, seperti biaya kos, biaya hidup, biaya transportasi, biaya buku, biaya foto copy, dan lain-lain. Kalikan itu dengan sekian tahun masa kuliah anda.
Kalau anda bisa tinggal di rumah selama kuliah, sebaiknya ini yang anda pilih. Jadi, pilihlah PTS yang ada di kota anda. Kalau harus kuliah di luar kota, usahakan untuk tinggal di rumah saudara. Ini akan sangat banyak menghemat.
Sebelum melakukan pendaftaran, tanyakan semua komponen biaya yang harus anda bayarkan di PTS yang bersangkutan. Ingat untuk kuliah anda tidak hanya membayar uang kuliah saja. Tanyakan juga waktu pembayarannya. Biasanya PTS memberlakukan sistem pembayaran yang diharapkan tidak memberatkan mahasiswa, misalnya uang gedung boleh diangsur sekian kali, uang kuliah pokok dan uang SKS tidak dibayarkan bersamaan, dan lain sebagainya. Perhitungkan semuanya jika anda tidak ingin gagal karenanya.
Prospek Dari ratusan program studi yang ditawarkan oleh PTS, tentu tidak semuanya menjanjikan prospek pekerjaan yang cerah di masa mendatang, 4 - 6 tahun sesudah anda menginjak bangku kuliah. Ada program studi yang tidak populer, sepi peminat karena dianggap tidak menarik atau kurang memberikan harapan pekerjaan dengan hasil yang memadai. Ada juga program studi yang selalu menjadi favorit, walaupun banyak lulusannya yang menganggur. Baik karena kurangnya lapangan pekerjaan atau pun terlalu banyaknya lulusan.
Anda dituntut untuk dapat memprediksi prospek bidang studi yang anda pilih dalam memasuki lapangan pekerjaan sesudah anda lulus nanti. Sebagai contoh, pemerintah pernah menyatakan program studi hukum sebagai jurusan yang sudah jenuh karena jumlah perguruan tinggi penyelenggara dan jumlah mahasiswa yang mengambil program studi ini. Anda harus sangat istimewa di bidang ini untuk dapat bersaing dengan sekian banyak lulusan lainnya.
Apakah hal itu masih berlaku sekarang? Di era reformasi ini kita banyak melihat kasus-kasus hukum yang mulai mencuat ke permukaan. Orang bicara mengenai hak, kewajiban dan tanggung jawab. Banyak buruh melakukan demo menuntut haknya dipenuhi. Selesaikan secara hukum. Banyak perusahaan dan bank yang memerlukan penyelesaian hukum untuk menuntaskan permasalahan sesudah krisis ekonomi ini. Bukankah logis kalau hal-hal tersebut diselesaikan oleh para sarjana hukum?
Kita lihat juga jurusan pertanian dan kelautan. Sesudah sektor industri dan perbankan terpuruk akhir-akhir ini, orang mulai melirik lagi sektor pertanian. Jumlah penduduk Indonesia yang demikian besar, dan semuanya butuh makan setiap hari, menuntut tersedianya bahan pangan yang cukup untuk itu. Dan bukankah Tuhan memberikan tanah yang demikian subur kepada bangsa kita? Kenapa kita kalah dari Thailand misalnya dalam produksi hasil pertanian?
Bukan hanya tanah subur yang Tuhan berikan kepada kita, tetapi juga laut yang sangat luas dan kaya. Pemerintah pun menyadari hal ini dengan menunjuk seorang menteri yang bertugas untuk mengeksplorasi potensi kelautan Indonesia. Apakah bidang tersebut masih prospektif 5 tahun yang akan datang? Hei.... kita baru saja mulai.
Globalisasi? Tentu saja ini akan sangat menentukan wajah dunia masa datang. Perdagangan bebas, banyaknya perusahaan asing yang masuk ke Indonesia (di antaranya karena aset negara kita terpaksa dijual kepada mereka!), semuanya menuntut standar dunia juga. Bahasa asing (bukan hanya bahasa Inggris), perdagangan internasional, lingkungan, peralatan berteknologi tinggi, komputer, internet, dan banyak lagi akan menjadi tuntutan yang tak terhindarkan.
Saya ingatkan, tidak ada prediksi yang benar 100%. Tetapi akan sangat berguna kalau anda bisa mengantisipasi kondisi di masa depan. Kalau anda merasa tidak mampu melakukannya sendiri, bertanyalah kepada orang tua, guru, teman, konsultan, atau siapapun. Jangan pertaruhkan masa depan anda karena ketidaktahuan ini.
Sesudah ketiga faktor di atas anda pertimbangkan masak-masak, kini tiba saatnya anda memilih perguruan tinggi yang sesuai dengan kriteria tersebut. Sediakan cukup banyak waktu, karena lebih banyak faktor eksternal dan bersifat teknis yang terlibat di sini

Tidak ada komentar: