Rabu, 08 Juni 2011

Menghadapi Stress Dengan Agama Buddha

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera

Kemajuan jaman ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi ia memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap sehingga dapat memanfaatkannya. Di sisi yang lain sesungguhnya ia pun dapat memberikan akibat negatif untuk mereka yang belum siap mental menghadapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Ada tuntutan-tuntutan jaman dan konflik-konflik yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu akhirnya dapat menjerumuskan orang yang lemah pengertian batinnya pada kondisi stress.

Hakekat dari pengertian batin sebagai bekal yang paling pokok dalam menghadapi dampak negatif kemajuan jaman ini adalah memiliki kemampuan melihat hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup tidak kekal dan hanyalah proses belaka. Pengertian ini biasanya telah dimengerti oleh hampir setiap orang secara teoritis tetapi pada kenyataannya orang jarang siap mental bila menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya.

Dalam usaha menyesuaikan antara pengertian batin (baca: teori) yang dimiliki dengan penerapannya pada kehidupan yang sesungguhnya inilah peranan Agama Buddha diperlukan. Agama Buddha adalah gabungan antara tradisi penghormatan kepada Sang Guru Agung, Buddha Gotama, dengan Ajaran Luhur Sang Buddha yang berisikan kiat-kiat untuk menghadapi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan tujuan Agama Buddha secara umum adalah agar orang yang mengikuti dan melaksanakan Ajarannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi, surgawi dan sebagai tujuan tertinggi adalah tercapai kebebasan mutlak yaitu Nibbana (=Nirwana) sebagai Tuhan Yang Mahaesa dalam pengertian Agama Buddha.

PEMBAHASAN


Pengertian batin untuk melihat hidup sebagaimana adanya ternyata lebih mudah diucapkan dan dinasehatkan kepada orang lain daripada untuk membantu diri kita sendiri dalam mengatasi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan harapan. Bila menjumpai orang lain yang sedang menderita, kita akan lebih mudah menjadi penasehat yang tampaknya amat bijaksana untuk membantu orang tersebut agar mampu menerima kepahitan hidup. Sebaliknya, bila tiba giliran kita yang menerima penderitaan akibat perubahan yang tidak diinginkan, kadang nasehat tulus dari seorang kawan dapat dianggap sebagai pelecehan atas kondisi yang sedang kita alami.

Untuk mengubah pengertian benar yang masih teoritis menjadi praktis itulah Sang Buddha dalam berbagai kesempatan sepanjang hidup Beliau telah menjelaskannya kepada para umatNya tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Bila tahapan ini diikuti sungguh-sungguh maka hasil nyata yang dapat dialami sebagai awal pencapaian adalah hidup bahagia dan bebas dari stress. Kebahagiaan awal ini kemudian dapat dilanjutkan untuk dapat mencapai bentuk-bentuk kebahagiaan yang lebih tinggi sehingga akhirnya tercapailah kebahagiaan tertinggi yaitu Tuhan Yang Mahaesa (=Nibbana/Nirwana).

Secara ringkas, tahapan-tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:


UMBER STRESS ADALAH KEINGINAN

Manusia hidup pasti tidak akan pernah terlepas dari keinginan. Memiliki keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri. Oleh karena itu, keinginan dapat menjadi salah satu sumber stress. Stress dapat timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak berkeinginan menghadapi perubahan. Padahal, setiap saat dan di setiap tempat ada kemungkinan orang akan mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup ini dapat merupakan perubahan ke arah yang menggembirakan ataupun sebaliknya. Menghadapi perubahan yang menggembirakan, orang tidak akan mempermasalahkan seperti bila sedang menghadapai perubahan yang tidak menyenangkan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang membuat orang tidak bahagia karena tidak sesuai dengan keinginannya. Perubahan dapat dirasakan mengarah pada hal yang tidak membahagiakan karena disebabkan oleh niat orang untuk tidak ingin berkumpul dengan yang tidak disenangi dan berpisah dengan yang dicinta. Perubahan ini terjadi dalam bentuk yang seluas-luasnya, misalnya dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan benda maupun dengan suasana serta masih banyak yang lainnya. Stress muncul karena orang tidak ingin melihat perubahan ke arah yang tidak menggembirakan itu terwujud sebagai kenyataan. Orang bahkan ingin memaksakan kenyataan seperti keinginannya. Tentunya hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi.

Pada dasarnya terdapat dua macam keinginan yang dominan dalam kehidupan ini yaitu ingin selalu bersama dengan hal-hal atau kondisi yang menyenangkan dan yang lainnya adalah ingin tidak pernah menjumpai hal-hal atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tentu saja bila kedua macam keinginan ini dapat terpenuhi maka bahagialah kehidupan orang tersebut. Namun, karena hidup selalu berubah maka orang kadang, kalau tidak dapat dibilang sering, mengalami kekecewaan. Bila kekecewaan ini bertambah banyak kuantitas maupun kualitasnya maka stress dan akibat-akibat negatif lainnya akan muncul.

Dewasa ini masalah stress dan akibatnya serta juga cara-cara menanggulanginya telah ramai dibicarakan di seluruh dunia. Banyak ahli menuliskan pendapatnya tentang stress. Salah satu diantaranya adalah Peter G. Hanson. Menurut hasil penelitian Hanson, beberapa di antara sumber stress dalam masyarakat adalah terutama karena memiliki kondisi yang tidak seimbang pada bidang-bidang keuangan, pribadi, kesehatan dan pekerjaan. Hanson mengartikan keuangan sebagai kondisi memiliki ketrampilan kerja yang dapat dijual, memiliki cukup uang untuk mencapai tujuan, dan jaminan keuangan jika nanti terserang penyakit, resesi, atau kehilangan pekerjaan. Pribadi adalah berarti memiliki teman sejati (tidak perlu banyak) dan keluarga, misalnya perkawinan atau hal yang serupa. Kesehatan yang dimaksudkan adalah kesehatan lahir batin yang dinyatakan oleh dokter dan bukan pendapat pribadi. Sedangkan pekerjaan berarti adalah tampil efisien dengan integritas dan mendapatkan rasa hormat dari lingkungan, dalam hal ini apabila sebagai seorang pelajar berarti segi pendidikan.

Bila orang mengalami perubahan atau kegagalan pada salah satu atau lebih dari keempat hal di atas maka ia memiliki potensi untuk mengalami stress, kecuali bila pengertian batinnya telah matang.

Tidak ada komentar: